Breaking News

Friday, 23 November 2012

Minerologi dan kristalografi

MINERALOGI

Mineralogi adalah studi kimia , struktur kristal , dan fisik (termasuk optik sifat) dari mineral. Studi khusus dalam mineralogi meliputi proses asal mineral dan pembentukan, klasifikasi mineral, distribusi geografis mineral, serta pemanfaatan mineral. Secara historis, mineralogi itu sangat prihatin dengan taksonomi dari batuan mineral pembentuk, untuk tujuan ini, mineralogi Internasional Asosiasiadalah organisasi yang anggotanya mewakili mineralogists di setiap negara. Kegiatannya meliputi mengelola penamaan mineral (melalui Komisi Mineral Baru dan Nama Mineral), lokasi mineral yang dikenal, dll Sebagai tahun 2004 ada lebih dari 4.000 spesies mineral diakui oleh IDI. Dari jumlah tersebut, 150 mungkin bisa disebut "umum," yang lain 50 "sesekali," dan sisanya adalah "langka" menjadi "sangat langka."
Baru-baru ini, didorong oleh kemajuan dalam teknik eksperimental (seperti difraksi neutron ) dan daya komputasi yang tersedia, yang terakhir yang telah memungkinkan sangat akurat skala atom simulasi perilaku kristal, ilmu pengetahuan telah bercabang untuk mempertimbangkan masalah yang lebih umum di bidang kimia anorganik dan fisika zat padat . Itu, bagaimanapun, tetap fokus pada struktur kristal biasa ditemui dalam batuan pembentuk mineral (seperti perovskites , mineral lempungdan kerangka silikat ). Secara khusus, lapangan telah membuat kemajuan besar dalam memahami hubungan antara struktur atom-skala mineral dan fungsi mereka, di alam, contoh yang menonjol akan pengukuran yang akurat dan prediksi sifat elastis dari mineral, yang telah menyebabkan baru wawasan seismologi perilaku batuan dan kedalaman terkait diskontinuitas dalam seismogram darimantel bumi . Untuk tujuan ini, dalam fokus mereka pada hubungan antara atom-skala fenomena dan sifat makroskopik, ilmu mineral (seperti yang sekarang umum dikenal) tampilan mungkin lebih dari sebuah tumpang tindih dengan ilmu material daripada disiplin lain.

Kimia Mineral
Komposisi kimia suatu mineral merupakan hal yang sangat mendasar, karena beberapa sifat-sifat mineral/kristal tergantung kepadanya. Sifat-sifat mineral/ kristal tidak
hanya tergantung kepada komposisi tetapi juga kepada susunan meruang dari atom-
atom penyusun dan ikatan antar atom-atom penyusun kristal/mineral.
Daya yang mengikat atom (atau ion, atau grup ion) dari zat pada kristalin adalah bersifat listrik di alam. Tipe dan intensitasnya sangat berkaitan dengan sifat-sifat fisik dan kimia dari mineral. Kekerasan, belahan, daya lebur, kelistrikan dan konduktivitas termal,
dan koefisien ekspansi termal berhubungan secara langsung terhadap daya ikat.
Kimia mineral merupakan suatu ilmu yang dimunculkan pada awal abad ke-19,
setelah dikemukakannya "hukum komposisi tetap" oleh Proust pada tahun 1799, teori
atom Dalton pada tahun 1805, dan pengembangan metode analisis kimia kuantitatif
yang akurat. Karena ilmu kimia mineral didasarkan pada pengetahuan tentang komposisi
mineral, kemungkinan dan keterbatasan analisis kimia mineral harus diketaui dengan baik.
Prinsip-prinsip kimia yang berhubungan dengan kimia mineral
1.      Hukum komposisi tetap (The Law of Constant Composition) oleh Proust (1799):
Perbandingan massa unsur-unsur dalam tiap senyawa adalah tetap"
2.      Teori atom Dalton (1805) :
Setiap unsur tersusun oleh partikel yang sangat kecil dan berbentuk seperti bola yang
disebut atom.
       Atom dari unsur yang sama bersifat sama sedangkan dari unsur yang berbeda
bersifat berbeda pula.
       Atom dapat berikatan secara kimiawi menjadi molekul.

Teknik analisis mineral secara kimia
Analisis kimia mineral (dan batuan) diperoleh dari beberapa macam teknik analisis. Sebelum tahun 1947 analisis kuantitatif mineral diperoleh dengan teknik analisis "basah", yang mana mineral dilarutkan dalam larutan tertentu. Penentuan unsur-unsur dalam larutan biasanya dipakai satu atau lebih teknik-teknik berikut: (1) ukur warna (colorimetry), (2) analisis volumetri (titrimetri) dan (3) analisis gravimetri.

Analisis kimia basah
Cara ini biasanya dilakukan di laboratorium kimia. Setelah sampel digerus menjadi bubuk, langkah pertama yang dilakukan adalah menguraikan sam-pel. Biasanya pada tahap ini digunakan satu dari beberapa larutan asam, seperti asam klorida (HCl), asam sulfat (H2SO4), atau asam fluorida (HF), atau campuran dari larutan asam tersebut. Jika sampel sudah dalam bentuk laru-tan, langkah selanjutnya adalah colorimetry, volumetri atau gravimetri untuk menentukan unsur-unsur yang diinginkan. Kisaran konsentrasi unsur-unsur berdasarkan teknik analisis ini adalah :
Keuntungan menggunakan cara basah adalah reaksi dapat terjadi dengan cepat dan relatif mudah untuk dikerjakan.

Analisis serapan atom (AAS)
AAS (atomic absorption spectroscopy) ini dapat dimasukkan dalam analisis kimia cara basah karena sampel asli yang akan dianalisis secara sempurna ter-larutkan dalam suatu larutan sebelum dilakukan analisis. Cara ini didasarkan atas pengamatan panjang gelombang yang dipancarkan suatu unsur atau ser-apan suatu panjang gelombang oleh suatu unsur. Dalam perkembangan-nya yang terakhir alat ini dilengkapi oleh inductively coupled plasma (ICP) dan metode ICP-mass spectrometric (ICP-MS). Sumber energi yang digunakan pada teknik ini adalah lampu katoda den-gan energi berkisar antara cahaya tampak sampai ultraviolet dari spectrum elektromagnetik. Sampel dalam bentuk larutan dipanas-kan, dengan angga-pan atom-atom akan bebas dari ikatan kimianya. Pada sampel panas dile-watkan sinar katoda, akan terjadi penyerapan energi yang akan terekam dalam spektrometer.

Analisis Luoresen sinar X (XRF)
Analisis ini juga dikenal dengan spektrograf emisi sinar X, yang banyak digu-nakan untuk laboratorium penelitian yang mempelajari kimia substansi anor-ganik. Di samping untuk laboratorium penelitian analisis ini juga digunakan untuk keperluan industri, seperti: industri tambang (untuk kontrol kualitas hasil yang akan dipasarkan), industri kaca dan keramik, pabrik logam dan bahan baku logam, dan dalam perlindungan lingkungan dan pengawasan pu-lusi. Pada analisis ini sampel digerus menjadi bubuk dan ditekan dalam ben-tuk pelet bundar. Pelet ini nantinya akan ditembak dengan sinar X. Spektrum emisi sinar X yang dihasilkan merupakan ciri-ciri tiap-tiap unsur yang terkan-dung dalam sampel. Analisis ini dapat digunakan untuk penentuan sebagian besar unsur, dan juga sangat sensitif untuk penentuan secara tepat beberapa unsur jejak (seperti Y, Zr, Sr, Rb dalam kisaran ppm).

Electron probe microanalysis
Metode ini didasarkan atas prinsip yang sama dengan analisis Luoresen sinar X, kecuali energi yang dipakai bukan tabung sinar X tetap digantikan oleh sinar elektron. Disebut mikroanalisis karena dapat menganalisis baik kuali-tatif maupun kuantitatif material dalam jumlah yang sangat sedikit. Sampel yang dianalisis biasanya berbentuk sayatan yang sudah dikilapkan (polished section atau polished thin section) dari suatu mineral, batuan atau material padat yang lain. Volume minimum yang dapat dianalisis dengan metode ini sekitar 10 sampai 20µm3, yang dalam satuan berat sekitar 10-11 gram (untuk material silikat).

Analisis spektrograif optis
Spektrograif emisi optik didasarkan pada kenyataan bahwa atom suatu unsur dapat menghasilkan energi. Ketika energi ini terdispersi, dengan menggu-nakan prisma dapat direkam sebagai suatu spektrum. Jumlah garis dan inten-sitas garis dalam spektrum yang terekam ditentukan oleh konjgurasi atom. Analisis kuantitatif dengan teknik ini memerlukan pengukuran terhadap ke-tajaman dari garis-garis spektral yang terekam dalam fotograf.

Sifat Fisik Mineral
Penentuan nama mineral dapat dilakukan dengan membandingkan sifat-sifat fisik
mineral antara mineral yang satu dengan mineral yang lainnya. Sifat-sifat fisik mineral
tersebut meliputi: warna, kilap 
(luster), kekerasan (hardness), gores (streak), belahan(cleavage), pecahan (fracture), struktur/bentuk kristal, berat jenis, sifat dalam (tenacity),dan kemagnetan.
·         Warna
Adalah kesan mineral jika terkena cahaya. Warna mineral dap at dibedakan
menjadi dua, yaitu idiokromatik, bila warna mineral selalu tetap, umumnya dijumpai
pada mineral-mineral yang tidak tembus cahaya (opak), seperti galena, magnetit, pirit;
dan alokromatik, bila warna mineral tidak tetap, tergantung dari material pengotornya.
Umumnya terdapat pada mineral-mineral yang tembus cahaya, seperti kuarsa, kalsit.
·         Kilap
Adalah kesan mineral akibat pantulan cahaya yang dikenakan padanya. Kilap
dibedakan menjadi dua, yaitu kilap logam dan kilap bukanlogam. Kilap logam
memberikan kesan seperti logam bila terkena cahaya. Kilap ini biasanya dijumpai pada
mineral-mineral yang mengandung logam atau mineral bijih, seperti emas, galena, pirit,
kalkopirit. Kilap bukan-logam tidak memberikan kesan seperti logam jika terkena cahaya.
Kilap jenis ini dapat dibedakan menjadi :
       Kilap kaca (vitreous luster)
memberikan kesan seperti kaca bila terkena cahaya, misalnya: kalsit, kuarsa, halit.
       Kilap intan (adamantine luster)
memberikan kesan cemerlang seperti intan, contohnya intan
       Kilap sutera (silky luster)
memberikan kesan seperti sutera, umumnya terdapat pada mineral yang mempunyai
struktur serat, seperti asbes, aktinolit, gipsum
       Kilap damar (resinous luster)
memberikan kesan seperti damar, contohnya: sfalerit dan resin
       Kilap mutiara (pearly luster)
memberikan kesan seperti mutiara atau seperti bagian dalam dari kulit kerang,
misalnya talk, dolomit, muskovit, dan tremolit.
       Kilap lemak (greasy luster)
menyerupai lemak atau sabun, contonya talk, serpentin
       Kilap tanah (earthy) atau kirap guram (dull)
kenampakannya buram seperti tanah, misalnya: kaolin, limonit, bentonit.
·         Kekerasan

Adalah ketahanan mineral terhadap suatu goresan. Secara relatif sifat fisik ini
ditentukan dengan menggunakan skala Mohs (1773 - 1839), yang dimulai dari skala 1
yang paling lunak hingga skala 10 untuk mineral yang paling keras. Skala Mohs tersebut
meliputi (1) talk, (2) gipsum, (3) kalsit, (4) fluorit, (5) apatit, (6) feldspar, (7) kuarsa, (8)
topaz, (9) korundum, dan (10) intan.
Masing-masing mineral tersebut diatas dapat menggores mineral lain yang bernomor lebih kecil dan dapat digores oleh mineral lain yang bernonor lebih besar.
Dengan lain perkataan SKALA MOHS adalah Skala relative. Dari segi kekerasan mutlak
skala ini masih dapat dipakai sampai yang ke 9, artinya no. 9 kira-kira 9 kali sekeras no.
1, tetapi bagi no. 10 adalah 42 kali sekeras no. 1
Untuk pengukuran kekerasan ini, dapat digunakan alat sederhana seperti kku
tangan, pisau baja dan lain-lain, seperti terlihat pada tabel berikut
·         Gores
Adalah warna mineral dalam bentuk bubuk. Gores / Cerat dapat sama atau
berbeda dengan warna mineral. Umumnya warna gores tetap.
·         Belahan
Adalah kenampakan mineral berdasarkan kemampuannya membelah melalui
bidang-bidang belahan yang rata dan licin. Bidang belahan umumnya sejajar dengan
bidang tertentu dari mineral tersebut. Belahan dibagi berdasarkan bagus tidaknya
permukaan bidang belahan, yaitu :
       Sempurna (perfect), bila bidang belahan sangat rata, bila pecah tidak melalui bidang
belahan agak sukar
       Baik (good), bidang belahan rata, tetapi tidak sebaik yang sempurna, masih dapat
pecah pada arah lain
       Jelas (distinct), bidang belahan jelas, tetapi tidak begitu rata, dapat dipecah pada arah
lain dengan mudah

       Tidak jelas (indistinct), dimana kemungkinan untuk membentuk belahan dan pecahan
akibat adanya tekanan adalah sama besar
       Tidak sempurna (imperfect), dimana bidang belahan sangat tidak rata, sehingga
kemungkinan untuk membentuk belahan sangat kecil daripada untuk membentuk
pecahan.

·         Pecahan
Adalah kemampuan mineral untuk pecah melalui bidang yang tidak rata dan tidak teratur. Pecahan dapat dibedakan menjadi:
       pecahan konkoidal, bila memperlihatkan gelombang yang melengkung di permukaan;

       pecahan berserat/fibrus, bila menunjukkan kenampakan seperti serat, contohnya
asbes, augit;
       pecahan tidak rata, bila memperlihatkan permukaan yang tidak teratur dan kasar,
misalnya pada garnet;
       pecahan rata, bila permukaannya rata dan cukup halus, contohnya: mineral lempung;
       pecahan runcing, bila permukaannya tidak teratur, kasar, dan ujungnya runcing-
runcing, contohnya mineral kelompok logam murni;
       tanah, bila kenampakannya seperti tanah, contohnya mineral lempung.
Bentuk mineral dapat dikatakan kristalin, bila mineral tersebut mempunyai bidang
kristal yang jelas dan disebut amorf, bila tidak mempunyai batasbatas kristal yang jelas.
Mineral-mineral di alam jarang dijumpai dalam bentuk kristalin atau amorf yang ideal,
karena kondisi pertumbuhannya yang biasanya terganggu oleh proses-proses yang lain.
Srtruktur mineral dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu:
       Granular atau butiran: terdiri atas butiran-butiran mineral yang mempunyai dimensi
sama, isometrik.
       Struktur kolom, biasanya terdiri dari prisma yang panjang dan bentuknya ramping.
Bila prisma tersebut memanjang dan halus, dikatakan mempunyai struktur _brus atau
berserat.
       Struktur lembaran atau lamelar, mempunyai kenampakan seperti lembaran. Struktur
ini dibedakan menjadi: tabular, konsentris, dan foliasi.
       Struktur imitasi, bila mineral menyerupai bentuk benda lain, seperti asikular, liformis,
membilah, dll.
Sifat dalam merupakan reaksi mineral terhadap gaya yang mengenainya, seperti
penekanan, pemotongan, pembengkokan, pematahan, pemukulan atau penghancuran.
Sifat dalam dapat dibagi menjadi: rapuh (brittle), dapat diiris (sectile), dapat dipintal
(ductile), dapat ditempa (malleable), kenyal/lentur (elastic), dan fleksibel (flexible).
Klasifikasi Mineral
Sistematika atau klasifikasi mineral yang biasa digunakan adalah klasifikasi dari
Dana, yang mendasarkan pada kemiripan komposisi kimia dan struktur kristalnya. Dana
membagi mineral menjadi delapan golongan (Klein & Hurlbut, 1993), yaitu:
       Unsur (native element), yang dicirikan oleh hanya memiliki satu unsur kimia, sifat
dalam umumnya mudah ditempa dan/atau dapat dipintal, seperti emas, perak,
tembaga, arsenik, bismuth, belerang, intan, dan grafit.
       Mineral sulfida atau sulfosalt, merupakan kombinasi antara logam atau semi-logam
dengan belerang (S), misalnya galena (PbS), pirit (FeS2), proustit (Ag3AsS3), dll
       Oksida dan hidroksida, merupakan kombinasi antara oksigen atau hidroksil/air
dengan satu atau lebih macam logam, misalnya magnetit (Fe3O4), goethit (FeOOH).
       Haloid, dicirikan oleh adanya dominasi dari ion halogenida yang elektronegatif,
seperti Cl, Br, F, dan I. Contoh mineralnya: halit (NaCl), silvit (KCl), dan Fluorit (CaF
2).
       Nitrat, karbonat dan borat, merupakan kombinasi antara logam/semilogam dengan
anion komplek, CO3 atau nitrat, NO3 atau borat (BO3). Contohnya: kalsit (CaCO3),
niter (NaNO3), dan borak (Na2B4O5(OH)4 . 8H2O).

       Sulfat, kromat, molibdat, dan tungstat, dicirikan oleh kombinasi logam dengan anion
sulfat, kromat, molibdat, dan tungstat. Contohnya: barit (BaSO4), wolframit
((Fe,Mn)Wo4)
       Fosfat, arsenat, dan vanadat, contohnya apatit (CaF(PO4)3), vanadinit (Pb5Cl(PO4)3)
       Silikat, merupakan mineral yang jumlah meliputi 25% dari keseluruhan mineral yang
dikenal atau 40% dari mineral yang umum dijumpai. Kelompok mineral ini
mengandung ikatan antara Si dan O. Contohnya: kuarsa (SiO2), zeolit-Na
(Na
6[(AlO2)6 (SiO2)60] . 24H2O).

KRITALOGRAFI
Kristalografi adalah suatu cabang dari mineralogi yang mempelajari sistem-sistem kristal. Suatu kristal dapat didefinisikan sebagai padatan yang secara esensial mempunyai pola difraksi tertentu (Senechal, 1995 dalam Hibbard, 2002). Jadi, suatu kristal adalah suatu padatan dengan susunan atom yang berulang secara tiga dimensional yang dapat mendifraksi sinar X. Kristal secara sederhana dapat didefinisikan sebagai zat padat yang mempunyai susunan atom atau molekul yang teratur. Keteraturannya tercermin dalam permukaan kristal yang berupa bidang-bidang datar dan rata yang mengikuti pola-pola tertentu. Bidang-bidang datar ini disebut sebagai bidang muka kristal. Sudut antara bidang-bidang muka kristal yang saling berpotongan besarnya selalu tetap pada suatu kristal. Bidang muka kristal itu baik letak maupun arahnya ditentukan oleh perpotongannya dengan sumbu-sumbu kristal. Dalam sebuah kristal, sumbu kristal berupa garis bayangan yang lurus yang menembus kristal melalui pusat kristal. Sumbu kristal tersebut mempunyai satuan panjang yang disebut sebagai parameter.

Kimia Kristal
Komposisi kimia suatu mineral merupakan hal yang sangat mendasar, be-berapa sifat-sifat mineral/kristal tergantung kepadanya. Sifat-sifat mineral/kristal tidak hanya tergantung kepada komposisi tetapi juga kepada susunan meruang dari atom-atom penyusun dan ikatan antar atom-atom penyusun kristal/mineral.
Komposisi kimia kerak bumi Bumi dibagi menjadi:
·         kerak
·         mantel, dan
·         inti bumi
ketebalan kerak bumi di bawah kerak benua sekitar 36 km dan di bawah kerak samudra berkisar antara 10 sampai 13 km. Batas antara kerak dengan mantel dikenal dengan Mohorovicic discontinuity. Kimia kristal Sejak penemuan sinar X, penyelidikan kristalografi sinar X telah mengem-bangkan pengertian kita tentang hubungan antara kimia dan struktur. Tujuannya adalah: 1) untuk mengetahui hubungan antara susunan atom dan komposisi kimia dari suatu jenis kristal. 2) dalam bidang geokimia tujuan mempelajari kimia kristal adalah untuk memprediksi struktur Kristal dari komposisi kimia dengan diberikan temperatur dan tekanan.
Daya Ikat dalam Kristal
Daya yang mengikat atom (atau ion, atau grup ion) dari zat pada kristalin adalah bersifat listrik di alam. Tipe dan intensitasnya sangat berkaitan dengan sifat-sifat fisisik dan kimia dari mineral. Kekerasan, belahan, daya lebur, ke-listrikan dan konduktivitas termal, dan koefisien ekspansi termal berhubun-gan secara langsung terhadap daya ikat.

Bentuk Kristal
Bentuk kristal adalah sifat dari suatu kristal dalam batuan, jadi bukan sifat batuan secara keseluruhan. Ditinjau dari pandangan dua dimensi dikenal tiga bentuk kristal, yaitu:
- Euhedral, apabila batas dari mineral adalah bentuk asli dari bidang kristal.
- Subhedral, apabila sebagian dari batas kristalnya sudah tidak terlihat lagi.
- Anhedral, apabila mineral sudah tidak mempunyai bidang kristal asli.
Ditinjau dari pandangan tiga dimensi, dikenal empat bentuk kristal, yaitu:
- Equidimensional, apabila bentuk kristal ketiga dimensinya sama panjang.
- Tabular, apabila bentuk kristal dua dimensi lebih panjang dari satu dimensi yang lain.
- Prismitik, apabila bentuk kristal satu dimensi lebih panjang dari dua dimensi yang lain.
            - Irregular, apabila bentuk kristal tidak teratur.

Pada wujudnya sebuah kristal itu seluruhnya telah dapat ditentukan secara ilmu
ukur, dengan mengetahui susut-sudut bidangnya. Hingga saat ini baru terdapat 7 macam
sistem kristal. Dasar penggolongan sistem kristal tersebut ada tiga hal, yaitu:
      jumlah sumbu kristal,
      letak sumbu kristal yang satu dengan yang lain
      parameter yang digunakan untuk masing-masing sumbu Kristal
Adapun ke tujuh sistem kristal tersebut adalah:

1. Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal  kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :
  • Tetaoidal
  • Gyroida
  • Diploida
  • Hextetrahedral
  • Hexoctahedral
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992)

2. Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:
  • Piramid
  • Bipiramid
  • Bisfenoid
  • Trapezohedral
  • Ditetragonal Piramid
  • Skalenohedral
  • Ditetragonal Bipiramid
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)

3. Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem  ini dibagi menjadi 7:
  • Hexagonal Piramid
  • Hexagonal Bipramid
  • Dihexagonal Piramid
  • Dihexagonal Bipiramid
  • Trigonal Bipiramid
  • Ditrigonal Bipiramid
  • Hexagonal Trapezohedral
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)

4. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Gambar 4 Sistem Trigonal
                                
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:
  • Trigonal piramid
  • Trigonal Trapezohedral
  • Ditrigonal Piramid
  • Ditrigonal Skalenohedral
  • Rombohedral
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini adalah  tourmaline dan cinabar(Mondadori, Arlondo. 1977)

5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:
  • Bisfenoid
  • Piramid
  • Bipiramid
Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite, chrysoberyl, aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992)
6. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).
Gambar 6 Sistem Monoklin

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas:
  • Sfenoid
  • Doma
  • Prisma
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite,  malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)
gambar.contoh system Kristal monoklin

7. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:
  • Pedial
  • Pinakoidal
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite, anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase (Pellant, chris. 1992)

Hubungan Antar Kristal
Hubungan antar kristal atau disebut juga relasi didefinisikan sebagai hubungan antara kristal/mineral yang satu dengan yang lain dalam suatu batuan. Secara garis besar, relasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
- Equigranular, yaitu apabila secara relatif ukuran kristalnya yang membentuk batuan berukuran sama besar. Berdasarkan keidealan kristal-kristalnya, maka equigranular dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Panidiomorfik granular, yaitu apabila sebagian besar mineral-mineralnya terdiri dari mineral-mineral yang euhedral.
- Hipidiomorfik granular, yaitu apabila sebagian besar mineral-mineralnya terdiri dari mineral-mineral yang subhedral.
- Allotriomorfik granular, yaitu apabila sebagian besar mineral-mineralnya terdiri dari mineral-mineral yang anhedral.
- Inequigranular, yaitu apabila ukuran butir kristalnya sebagai pembentuk batuan tidak sama besar. Mineral yang besar disebut fenokris dan yang lain disebut massa dasar atau matrik yang bisa berupa mineral atau gelas.

Klasifikasi kristal
Dari tujuh sistem kristal dapat dikelompokkan menjadi 32 klas kristal. Pen-gelompokkan ini berdasarkan pada jumlah unsur simetri yang dimiliki oleh kristal tersebut. Sistem isometrik terdiri dari lima kelas, sistem tetragonal mempunyai tujuh kelas, rombis memiliki tiga kelas, heksagonal mempunyai tujuh kelas dan trigonal lima kelas. Selanjutnya sistem monoklin mempunyai tiga kelas. Tiap kelas kristal mempunyai singkatan yang disebut simbol. Ada dua macam cara simbolisasi yang sering digunakan, yaitu simbolisasi Schonlies dan Herman Mauguin (simbolisasi internasional).