Breaking News

Monday 24 December 2012

Analisis Mengenai Dampak Lingkukan (AMDAL)

       
Analisis Mengenai Dampak Lingkukan AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. 
        AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan . 
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan
pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan. Dokumen AMDAL terdiri dari :
  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL) 
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) 
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) 
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
          Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. 
A.1) Kegunaan Amdal Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan 
A.2) Prosedur AMDAL 
Prosedur AMDAL terdiri dari : 
a) Proses penapisan (screening) wajib AMDAL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak. 
b) Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL. 
c) Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping) Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan). 
d) Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penilaian KA-ANDAL. 
Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya. 
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. 
A.3) Pihak yang terlibat dalam proses AMDAL Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan. Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. 
Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. 
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati. 
A.4) UKL dan UPL Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL. Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia. UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan. Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi : 
Identitas pemrakarsa Rencana Usaha dan/atau kegiatan Dampak Lingkungan yang akan terjadi Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup Tanda tangan dan cap Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada : Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara 
A.5) Kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya 
a) AMDAL-UKL/UPL Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL. UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya. 
b) AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan. 
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru. Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. 
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat "memperbaiki" ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL. Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.

Determinasi Batuan Beku

PENDAHULUAN 

Batuan beku adalah batuan yang terbentuk oleh hasil pembekuan magma, yang tersusun oleh mineral atau kristal-kristal dalam bentuk agregasi yang kompak dan saling interlocking. Kompak disini dapat diartikan sbagai susunan mineral atau kristal-kristal yang saling tumbuh, sehingga tidak memperlihatkan adanya ruang atau pori diantara mineral atau kristal-kristal penyusun batuan. Kalaupun ditemukan pori-pori, itu hanya bekas-bekas gas yang keluar atau terjebak pada waktu pembekuan magma.Magma adalah cairan atau larutan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah dan bersifat mobile. Temperatur yang tinggi dari magma (900-1600C) memberikan suatu perkiraan bahwa magma berasal dari bagian yang dalam di kerak bumi. Suatu magma biasanya terdiri dari unsure O, Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na, dan K tetapi juga mengandung senyawa H2O dan CO2 serta beberapa komponen gas H2S, HCl, CH4 dan CO. Jenis-jenis batuan beku yang
terbentuk, masing-masing dicirikan oleh komposisi mineral yang berbeda, sesuai dengan komposisi magma dan temperatur pembekuannya. Komposisi mineral yang terjadi pada setiap jenis batuan beku yang terbentuk bisa terdiri dari berbagai macam minerallogam maupun non logam. Komposisi asal dari pada larutan magma serta kondisi-kondisi tertentu yang mempengaruhi proses pendinginan magma dapatmenghasilkan jebakan endapan mineral yang ekonomis 

I. 2 MAKSUD PRAKTIKUM 

Adapun maksud daripada praktikum ini adalah untuk dapat mengamati dan mendeterminasi batuan beku berdasarkan warna, tekstur batuan, struktur batuan, dan komposisi/komponen penyusun.

I. 3 TUJUAN PRAKTIKUM

Tujuan daripada praktikum ini adalah agar praktikan dapat :
1. mengetahui cara mendeterminasi batuan beku berdasarkan sifat fisik dan komponen penyusunnya.
2. menentukan jenis serta nama batuan berdasarkan sifat fisik dan komponen penyusun yang telah diketahui.

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 PROSES PEMBEKUAN BATUAN BEKU 
Proses-proses dalam pembentukan batuan beku adalah :
 Diferensiasi magma Diferensiasi magma yaitu proses pemisahan magma homogen dalam fraksi-fraksi dengan komposisi yang berbeda-beda
 Asimilasi Asimilasi adalah proses reaksi atau pelarutan antara magma dengan batuan sekitarnya. Umumnya terjadi pada intrusi magma basa terhadap batuan asam.
 Proses Pencampuran dari Magma Proses pencampuran adalah reaksi yang terjadi antara kristal yang mula-mula terbentuk dengan cairan magma, sehingga berubah komposisinya.
2. 2 TEKSTUR BATUAN BEKU
Tekstur adalah sifat dan hubungan antar butir mineral yang satu dengan yang lain dalam suatu batuan, meliputi hubungan antara kristalinitas, glanularitas, dan fabrik.
 Kristalinitas, yaitu tingkat kristalisasi mineral dalam suatu batuan, meliputi : Holokristalin, Hipokristalin, dan Holohyalin.
 Granulritas, yaitu derajat besar butir kristal dari mineral penyusun batuan, yang meliputi : Fanerik, Porfiritik, dan Afanitik.
 Fabrik (kemas), yaitu susunan antara kristal-kristal yang satu dengan yang lainnya, meliputi bentuk dan relasi.
2. 3 STRUKTUR BATUAN
Struktur batuan beku merupakan kenampakan susunan dan bentuk pola mineral dalam batuan beku sendiri, yang meliputi : 
 Struktur Massive/Kompak, yaitu susunan mineral-mineral dalam batuan yang tidak menunjukkan adanya pori-pori, penjajaran mineral atau bentuk aliran.
 Struktur akibat Pelepasan Bahan Volatile, terdiri dari : Vesicle, Scoriceus, Pumiceous, dan Amygdaloidal. 
 Struktur permukaan dari fase larutan, meliputi : Xenolith, Xenocrys, dan Pillow.  Struktur Permukaan, meliputi : Corona Structur, Flow Effects, dan Microlatic Struktur. 
 Struktur setelah terjadi pembentukan magma, meliputi : Perlitic Structur, Spheurulitic Structure, dan Oblicular Structur. 
2. 4 KLASIFIKASI BATUAN BEKU 
Klasifikasi batuan beku dapat dibedakan berdasarkan tempat terbentuknya dan sifat kimia dan komposisinya.  
 Kalsifikasi berdasarkan tempat terbentuknya : - Batuan Beku Dalam (Plutonic Rocks) - Batuan Beku Korok (Hypabisal Rocks) - Batuan Beku Lelehan (Vulcanic Rocks)
 Klasifikasi berdasarkan sifat kimia dan komposisi mineralnya : - Batuan Beku Asam (SiO2 : > 66%) - Batuan Beku Intermediet (SiO2 : 52 – 66%) - Batuan Beku Basa (SiO2 : 45 – 52%) - Batuan beku Ultrabasa (SiO2 : < 45%)

Thursday 20 December 2012

Pengertian Pertambangan

Pengertian Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Paradigma baru kegiatan industri pertambangan ialah mengacu pada konsep Pertambangan yang berwawasan Lingkungan dan berkelanjutan, yang meliputi :
  • Penyelidikan Umum (prospecting)
  • Eksplorasi : eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci
  • Studi kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal)
  • Persiapan produksi (development, construction)
  • Penambangan (Pembongkaran, Pemuatan,Pengangkutan, Penimbunan)
  • Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
  • Pengolahan (mineral dressing)
  • Pemurnian / metalurgi ekstraksi
  • Pemasaran
  • Corporate Social Responsibility (CSR)
  • Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
Pengertian Pertambangan
Ilmu Pertambangan : ialah ilmu yang mempelajari secara teori dan praktik hal-hal yang berkaitan dengan industri pertambangan berdasarkan prinsip praktik pertambangan yang baik dan benar (good mining practice)

Pertambangan di Indonesia

Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital), dan Golongan C (bahan tidak strategis dan tidak vital).Bahan Golongan A merupakan barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah, contohnya minyak, uranium dan plutonium. Sementara, Bahan Golongan B dapat menjamin hayat hidup orang banyak, contohnya emas, perak, besi dan tembaga. Bahan Golongan C adalah bahan yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam, pasir, marmer, batu kapur dan asbes.


Pengertian Pertambangan Sesuai UU Minerba No.4 Tahun 2009

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
  2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
  3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
  4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
  5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
  6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.
  7. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
  8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
  9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
  10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
  11. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
  12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
  13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
  14. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
  15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
  16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang.
  17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
  18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
  19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.
  20. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
  21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
  22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
  23. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 
  24. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 
  25. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 
  26. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 
  27. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

Corporate Social Responsibility (CSR)

PENDAHULUAN


1.1. Secara Umum

Tanggung Jawab Sosial Korporasi / Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Secara umum, perhatian para pembuat kebijakan terhadap CSR saat ini telah menunjukkan adanya kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari suatu kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap bersifat kondusif terhadap iklim usaha. Konsep dan praktik CSR sudah
menunjukkan gejala baru sebagai keharusan yang realistis diterapkan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap CSR sebagai pemborosan. Masyarakat pun menilai hal tersebut sebagai suatu yang perlu, ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Dalam dunia pertambangan, isu Corporate Social Responsibility (CSR) semakin menarik perhatian kalangan perusahaan. Ide dasar CSR sebenarnya sederhana, yaitu pentingnya sikap sosial perusahaan tambang kepada masyarakat disekitar wilayah pertambangan. Ide ini tentu tergolong mulia, sebab umumnya perusahaan penambangan terkesan lebih banyak berurusan dengan permasalahan permodalan dan kalkulasi target keuntungan.
CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan tersebut diatas yang biasanya mengabaikan tanggung jawab sosialnya terhadap lingkungan dan penduduk sekitar wilayah penambangan. Latar belakang inilah yang dimaksudkan sebagai bahan diskusi dan pembahasan dalam tulisan ini, dengan tujuan untuk menelusuri pentingnya CSR serta programnya berupa Community Development dalam kegiatan pertambangan.

LATAR BELAKANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN COMMUNITY DEVELOPMENT DI BIDANG PERTAMBANGAN

2.1.Latar Belakang Corporate Social Responsibility

Corporate Social Responsibility (CSR) yang dicetuskan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an pada awalnya adalah usaha untuk melindungi buruh dari penindasan yang dilakukan perusahaan. Saat ini banyak definisi yang menjelaskan makna CSR, yang juga terus berubah seiring berjalannya waktu. CSR antara lain didefinisikan sebagai komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya (CSR: Meeting Changing Expectations, 1999).
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Jika kita berbicara tentang tanggung jawab sosial perusahaan, maksudnya adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis. Hal itu bisa terjadi dengan dua cara yaitu cara positif dan negatif. Secara positif, perusahaan bisa melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan ekonomis dan semata-mata dilangsungkan demi kesejahteraan masyarakat atau salah satu kelompok di dalamnya. Contohnya menyelenggarakan pelatihan keterampilan untuk penganggur. Kegiatan seperti itu hanya mengeluarkan dana dan tidak mendapat sesuatu kembali. Tujuannya semata-mata sosial dan sama sekali tidak ada maksud ekonomi. Secara negatif, perusahaan bisa menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, yang sebenarnya menguntungkan dari segi bisnis tetapi akan merugikan masyarakat atau sebagian masyarakat. Kegiatan-kegiatan itu bisa membawa keuntungan ekonomis tapi perusahaan mempunyai alasan untuk tidak melakukannya. Jika kita membedakan tanggung jawab sosial dalam arti positif dan dalam arti negatif, langsung menjadi jelas konsekuensinya dalam rangka etika.
Sekarang, seiring dengan makin kompleksnya kepemilikan sebuah usaha, konsep CSR menjadi meluas maknanya, salah satunya adalah niat baik dan komitmen dari perusahaan untuk memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat, keberlanjutan pengembangan masyarakat dan ekonomi lokal sehingga memberikian kontribusi juga terhadap keberlanjutan perusahaan. Kegiatan tersebut dilakukan dengan membangun hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal (masyarakat), dan lingkungan secara luas.
Dengan pengertian di atas tentang konsep CSR, pengembangan model CSR (CSR Models) mengalami pergeseran dari dari perspektif shareholder ke perspektif stakeholder, artinya kehadiran perusahaan harus dilihat dari dan untuk mereka yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan, dalam hal ini tidak hanya pemilik bisnis saja akan tetapi diperluas dalam kelompok yang lebih lebar. Namun demikian tentunya tingkat kepentingan setiap stakeholder akan berbeda, mulai dari karyawan, pembeli, pemilik, pemasok, dan komunitas lokal, organisasi nirlaba, aktivis, pemerintah, sampai dengan media yang secara tidak langsung berhubungan dengan perusahaan.
Penting dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam CSR bahwa CSR bukan sekedar usaha mendapatkan ijin sosial dari masyarakat untuk mengamankan operasional perusahaan atau untuk mengurangi kerugian lingkungan dari aktivitas usahanya, tetapi lebih jauh CSR adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dari stakeholder (sesuai dengan prioritasnya). Dengan demikian, peduli terhadap akibat sosial, mengatasi kerugian lingkungan sebagai akibat dari aktivitas usaha, ijin sosial dari masyarakat menjadi bagian kecil dari usaha untuk meningkatkan kualitas hidup tersebut. Stakeholder yang dirumuskan di atas (karyawan, pembeli, pemilik, pemasok, dan komunitas lokal, organisasi nirlaba, aktivis, pemerintah, dan media), pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yakni kemakmuran. Perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal (artinya kepada pemegang saham atau shareholder) tapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban di atas.
Ada berbagai penafsiran tentang CSR dalam kaitan aktivitas atau perilaku suatu perusahaan, namun yang paling banyak diterima saat ini adalah pendapat bahwa yang disebut CSR adalah yang sifatnya melebihi (beyond) laba, melebihi hal-hal yang diharuskan peraturan dan melebihi sekedar public relations.
Kita tidak dapat membangun suatu masyarakat yang makmur, tanpa bisnis yang menguntungkan. Namun, di sisi lain, kita juga tidak bisa menumbuhkan suatu ekonomi yang kompetitif di lahan sosial yang gersang.
Ungkapan itu sebenarnya ingin menggarisbawahi perlunya tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, di tengah lingkungan sosial dan publik, yang kini semakin kritis menyoroti berbagai praktik bisnis yang dilakukan perusahaan. Sekedar contoh pada bidang pertambangan di Indonesia, perusahaan pertambangan Freeport di Papua kerap dikecam dengan tuduhan pengrusakan lingkungan.

2.2.Community Development Di Bidang Pertambangan

Community Development (CD) atau Pemberdayaan Masyarakat adalah salah satu kegiatan yang menjadi bagian dari program CSR pada bidang pertambangan. CD terdiri dari Community Relation yaitu pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada stakeholder, yang pada umumnya banyak dilakukan kepada masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah, kemudian Community Service yaitu program pemberian bantuan yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat atau kepentingan umum termasuk didalamnya bantuan untuk bencana alam, bantuan prasarana umum termasuk tempat ibadah dan peningkatan kesehatan bagi masyarakat setempat.
Berikutnya adalah community empowering, yaitu sebuah usaha untuk memberdayakan masyarakat sehingga memiliki akses yang baik untuk menunjang kemandiriannya, sebagai contoh program pemberian beasiswa, peningkatan kapasitas usaha masyarakat yang berbasis potensi setempat serta bantuan untuk pengembangan atau penguatan kelompok swadaya masyarakat.
Yang terakhir adalah program konservasi atau pelestarian alam yaitu melakukan penghijauan dengan memberdayakan masyarakat setempat sehingga dapat meningkatan pendapatan para petani atau penggarap. Keseluruhan program kegiatan Community Development harus diusahakan berkesinambungan dengan kriteria keberhasilan yang jelas.

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Sebagai sebuah usaha, tujuan dari perusahaan pertambangan adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya melalui penambangan dengan cara seefektif dan seefisien mungkin. Perusahaan pertambangan pada umumnya beroperasi di daerah terpencil yang serba minim fasilitasnya. Sementara itu, dalam beroperasi, perusahaan pertambangan ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli pertambangan maupun tenaga lain non pertambangan yang secara bersama hidup dalam satu komunitas yang serba berbeda dengan masyarakat sekitarnya, baik dari segi fasilitas fisik maupun nonfisik.
Lingkungan khusus yang serba lengkap fasilitasnya tersebut sering menimbulkan kecemburuan dari masyarakat sekeliling yang hidup serba minim fasilitas serta rendah tingkat kehidupan sosial ekonominya. Belum lagi dampak polusi dari aktivitas pekerja dan kegiatan penambangan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Kecemburuan itulah yang sering memicu terjadinya konflik antara manajemen perusahaan dan masyarakat sekitar pertambangan. Dilain sisi, perusahaan merasa telah memenuhi keseluruhan kewajiban sebagai perusahaan kepada Pemerintah dengan membayar pajak atau royalti. Ironis bila melihat kondisi masyarakat yang bersanding dengan lokasi usaha pertambangan besar. Banyak dari mereka hidup dalam kondisi yang serba pas-pasan walaupun ditempatnya ada perusahaan yang luar biasa sukses meraih keuntungan. Masyarakat di sekitar Freeport, Timika, Papua Barat misalnya, mereka harus sembunyi-sembunyi mengais hidup sambil menghindari penjagaan aparat bersenjata di aliran tailing Freeport.
Selain masalah tersebut diatas, pada tahap awal, pengusahaan pertambangan juga telah dihadapkan dengan proses negosiasi dengan para pemilik tanah dimana terdapat deposit bahan tambang yang memadai untuk dapat dieksploitasi secara menguntungkan. Tahap ini juga merupakan tahap yang kritis karena dapat mempengaruhi masa depan hubungan antara masyarakat dan perusahaan pertambangan.
Guna mengeliminir bebagai permasalan yang mungkin timbul sebagaimana disebutkan diatas, sudah semestinya sejak awal perusahaan pertambangan dapat menunjukkan corporate social responsibility-nya (CSR) melalui program community development (CD). Hal ini sangat penting untuk meyakinkan masyarakat bahwa kehadiran perusahaan pertambangan yang akan menguasai sumber alam di wilayah itu akan memberi kompensasi pada mereka dalam bentuk program-program yang akan meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk.
Saat ini, CSR telah menjadi isu bisnis yang terus menguat. Isu ini sering diperdebatkan dengan pendekatan nilai-nilai etika, dan memberi tekanan yang semakin besar pada kalangan bisnis untuk berperan dalam masalah-masalah sosial, yang akan terus tumbuh. Isu CSR sendiri juga sering diangkat oleh kalangan bisnis, manakala pemerintahan nasional di berbagai negara telah gagal menawarkan solusi terhadap berbagai masalah kemasyarakatan.
Namun upaya penerapan CSR sendiri bukannya tanpa hambatan. Dari kalangan ekonom sendiri juga muncul reaksi mengritik konsep CSR, dengan argumen bahwa tujuan utama perusahaan pada hakikatnya adalah memaksimalkan keuntungan (returns) bagi pemilik saham, dengan mengorbankan hal-hal lain. Ada juga kalangan yang beranggapan, satu-satunya alasan mengapa perusahaan mau melakukan proyek-proyek yang bersifat sosial adalah karena memang ada keuntungan komersial di baliknya. Yaitu, mengangkat reputasi perusahaan di mata publik ataupun pemerintah. Oleh karena itu, para pelaku bisnis harus menunjukkan dengan bukti nyata bahwa komitmen mereka untuk melaksanakan CSR bukanlah main-main.
Manfaat dari CSR itu sendiri terhadap pelaku bisnis juga bervariasi, tergantung pada sifat perusahaan bersangkutan, dan sulit diukur secara kuantitatif. Meskipun demikian, ada sejumlah besar literatur yang menunjukkan adanya korelasi antara kinerja sosial/lingkungan dengan kinerja finansial dari perusahaan. CSR pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan. Tetapi, tentu saja, perusahaan tidak diharapkan akan memperoleh imbalan finansial jangka pendek, ketika mereka menerapkan strategi CSR. Karena memang bukan itu yang menjadi tujuannya.
Supaya lebih banyak perusahaan pertambangan yang mau berperilaku mulia terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya, pemerintah bisa memberikan fasilitas penunjang, salah satunya berupa insentif perpajakan. Bentuknya bisa tax exception (pengecualian pajak) atau tax reduction (pengurangan pajak). Insentif pajak akan mendorong perusahaan lebih agresif mengembangkan program CSR.

KESIMPULAN

Citra perusahaan pertambangan yang buruk, yang sering dimunculkan di media massa, jelas tidak mendukung kelancaran operasional perusahaan dan bersifat kontra-produktif terhadap upaya peningkatan produktivitas dan keuntungan. Kini semakin diakui bahwa perusahaan sebagai pelaku bisnis, tidak akan bisa terus berkembang jika menutup mata atau tak mau tahu dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial tempat ia hidup.
Dalam kaitan itulah, penerapan corporate social responsibility (CSR) melalui program community development (CD) dipandang bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi juga sebuah kewajiban. CSR adalah suatu peran bisnis dan harus menjadi bagian dari kebijakan bisnis. Maka, bisnis tidak hanya mengurus permasalahan laba, tapi juga harus mengandung kesadaran sosial terhadap lingkungan sekitar. Sejalan dengan dinamika saat ini, disimpulkan ada enam kecenderungan utama yang semakin menegaskan arti penting CSR, yaitu:
1. Meningkatnya kesenjangan antara kaya dan miskin;
2. Posisi negara yang semakin berjarak pada rakyatnya;
3. Makin mengemukanya arti kesinambungan;
4. Makin gencarnya sorotan kritis dan resistensi dari publik;
5. Tren ke arah transparansi;
6. Harapan-harapan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik dan manusiawi pada era milenium baru.

Wednesday 19 December 2012

Potensi Tambang Sulawesi Tenggara dalam Kepungan Investor

Tambang Sultra
Sektor pertambangan provinsi Sulawesi Tenggara cukup potensial dan menjadi perhatian investor nasional maupun asing yang bergerak di bidang pertambangan Sulawesi Tenggara memiliki kandungan tambang yang sangat potensial dan telah banyak perusahaan yang telah melakukan eksplorasi utamanya kabupaten Buton, Konawe, Konawe Utara, dan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara. Hal ini membuktikan bahwa Sulawesi Tenggara memilki potensi pertambangan yang dapat diandalkan, namun belum dioptimalkan pemanfaatannya. Potensi pertambangan yang dimiliki oleh Sulawesi Tenggara diantaranya adalah Tambang aspal di Kabupaten Buton, Tambang nikel di
kabupaten Kolaka, Konawe Utara dan Konawe, potensi tambang marmer, batu granit dan krom tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara dan untuk potensi tambang minyak di Kabupaten Buton Utara dan Buton. Khusus untuk tambang aspal, beberapa perusahaan memegang kuasa pertambangan (KP) untuk melakukan eksplorasi. Herry Asiku Ketua Kadin Provinsi Sulawesi Tenggara mengharapkan para pemegang Kuasa Pertambangan sebaiknya tidak terlalu lama melakukan eksplorasi yang sampai bertahun tahun lamanya dan disarankan tahap eksplorasi cukup dalam 1 sampai 3 tahun lamanya dan setelah itu telah dapat melakukan eksploitasi. Ketertarikan investor cukup banyak untuk berinvestasi di sektor pertambangan Sulawesi Tenggara, pemerintah daerah dapat memberikan dukungan bagi investor dengan membangun sarana dan prasrana yang dibutuhkan investor, seperti jalan, jembatan dan pelabuhan dan lainnya, serta diharapkan dapat mempermudah dan mempercepat tahap eksploitasi tambang dan pada saat kegiatan investasi mulai dilaksanakan sarana yang dibutuhkan diupayakan dapat tersedia. Kadin Sulawesi Tenggara juga mengharapkan perusahaan yang akan melakukan eksploitasi dapat bermitra dengan pengusaha lokal Sultra dan hal ini dimaksudkan agar terjadi proses alih teknologi di sektor pertambangan. Kehadiran investasi di suatu daerah juga diharapkan akan membuka lapangan kerja baru dan masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa untuk melakukan investasi di bidang pertambangan, terdapat prosedur standar yang harus diikuti dan untuk pengendalian dan pengelolaan lingkungan di sekitar tambang tetap merupakan perhatian utama. Jejak Sejarah Pertambangan Sultra Seperti diketahui, sejarah pertambangan nikel di Kabupaten Kolaka (sebagai mana diulas Harian Kompas) bermula pada tahun 1909 EC Abendanon, seorang ahli geolog asal Belanda, menemukan bijih nikel di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Eksplorasi bijih nikel sendiri baru dilaksanakan pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tole Maatschappij. Pengapalan pertama 150.000 ton hasil tambang itu dilakukan OBM empat tahun kemudian ke negara Jepang. Nikel dimanfaatkan sebagai penyalut karena tahan karat dan keras. Percampuran antara nikel dengan tembaga misalnya, digunakan untuk membuat sendok dan garpu. Dalam perkembangan sejarah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 1960 dan Undang-Undang (UU) Pertambangan Nomor 37 Tahun 1960, Pemerintah RI mengambilalih penambangan tersebut dan berdirilah PT Pertambangan Nikel Indonesia (PNI). Penambangan logam putih berlambang kimia Ni ini, kemudian terbukti memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Saat Sultra berupaya menjadi daerah otonom yang lepas dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), sumber daya alam Kabupaten Kolaka itu diyakini mampu menjadi sumber ekonomi untuk mengelola rumah tangga sendiri. Wilayah di jazirah tenggara Pulau Sulawesi itu kemudian ditetapkan menjadi provinsi baru, melalui UU No 13/1964. Dalam logo provinsi yang berhari jadi tanggal 27 April ini terdapat warna coklat sebagai lambang tanah yang mengandung nikel di Kabupaten Kolaka. Waktu terus bergulir. PT Per-tambangan Nikel Indonesia di-merger dengan enam perusahaan negara lainnya seperti PN Logam Mulia pada 5 Juli 1968 dan berubah menjadi PT Aneka Tambang. Areal kuasa pertambangan di Pomalaa ini-yang mencatatkan sahamnya di pasar modal pada tahun 1997-luasnya 8.314 hektar. Selain bijih nikel, perusahaan ini juga memproduksi feronikel atau feni yang merupakan paduan logam antara nikel dan besi (fero). Tahun 2008 dihasilkan feronikel sekitar 10.000 ton nikel dan sekitar tiga juta wmt (wet metric ton) bijih nikel. Bijih nikel dipasarkan ke Je-pang dan Australia. Sedangkan feronikel dalam bentuk batangan logam atau ingot dijual ke negara Jerman, Inggris, Belgia, dan Jepang. Harga jualnya ber-dasarkan pada harga logam internasional yang mengacu pada London Metals Exchange (LME). Feronikel hasil penambangan perusahaan yang ber-kantor pusat di Jakarta ini, tahun lalu dihargai 3,73 dollar Amerika Serikat (AS) per pon. Sedangkan untuk bijih nikel tergantung pada tinggi rendah kadarnya. Layaknya produk tambang yang memiliki nilai jual tinggi seperti minyak bumi dan emas, negara lalu mengklaim nikel sebagai miliknya. Tidak mengherankan bila hasil penjualan ke-kayaan daerah berlambang burung raksasa ini lebih menggembungkan pundi-pundi uang pemerintah pusat dibandingkan kas daerahnya sendiri. Usaha pertambangan dan penggalian berada di peringkat keempat dari sembilan lapangan usaha yang ada. Kontribu-sinya pada tahun 2000 sekitar Rp 163 milyar atau 8,66 persen dari seluruh kegiatan ekonomi senilai Rp 1,9 trilyun.Meskipun begitu, harus diakui, kehadiran badan usaha berusia 33 tahun ini menimbulkan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Dari kegiatan perusahaan ini di Pomalaa, setiap bulan kas daerah menerima pajak pemanfaatan air bawah tanah dan per-mukaan rata-rata Rp 30 juta. Jumlah kas juga bertambah dari perolehan pajak penerangan jalan sebesar Rp 100 juta per bulan. Meskipun memiliki bijih nikel berkualitas ekspor, bahan tambang ini tidak lantas menjadi usaha terbesar Kolaka. Pertanian merupakan lapangan usaha terbesar masyarakat kabupaten di bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara ini. Sektor ini mampu menyerap 76.734 orang tenaga kerja. Total kegiatan ekonomi yang dihasilkan tahun 2000 besarnya Rp 765,2 milyar. Dari jumlah itu, separuhnya diperoleh dari kegiatan usaha di bidang perkebunan. Lahan perkebunan kabupaten yang terdiri dari pegunungan dan bukit yang memanjang dari utara ke selatan, terbanyak di-gunakan untuk areal tanaman kakao. Sayangnya harga jual kakao atau kokoa-sebutan lain untuk tanaman cokelat-tidak stabil. Setelah sempat mencapai harga Rp 28.000 per kilogram pada tahun 1998, harga kakao jatuh. Harga per kilogram tahun 1999 turun enam ribu rupiah. Setahun kemudian menjadi dua belas ribu rupiah per kilogram dan tahun 2001 hanya Rp 8.000. Penurunan ini ditengarai karena berkurangnya permintaan akan komoditas kakao, atau dikarenakan ulah para pedagang yang kebanyakan datang dari Makassar dan Surabaya untuk memperbanyak keuntungan. Mereka membeli langsung hasil kebun itu dari para petani.
Tambang Sultra

Pengantar Jalan Tambang

PENDAHULUAN

Setiap operasi penambangan memerlukan jalan tambang sebagai sarana infrastruktur yang vital di dalam lokasi penambangan dan sekitar-nya. Jalan tambang berfungsi sebagai penghubung lokasi-lokasi penting, antara lain lokasi tambang dengan area crushing plant, pengolahan bahan galian, perkantoran, perumahan karyawan dan tempat-tempat lain di wilayah penambangan.
Konstruksi jalan tambang secara garis besar sama dengan jalan angkut di kota. Perbedaan yang khas terletak pada permukaan jalannya (road surface) yang jarang sekali dilapisi oleh aspal atau beton seperti pada jalan angkut di kota, karena jalan tambang sering dilalui oleh peralatan mekanis yang memakai crawler track, misalnya bulldozer, excavator, crawler rock drill (CRD), track loader dan sebagainya. Untuk membuat jalan angkut tambang diperlukan bermacam-macam alat mekanis, antara lain:
  • bulldozer yang berfungsi antara lain untuk pembersihan lahan dan pembabatan, perintisan badan jalan, potong-timbun, perataan dll;
  • alat garu (roater atau ripper) untuk membantu pembabatan dan meng-atasi batuan yang agak keras;
  • alat muat untuk memuat hasil galian yang volumenya besar;
  • alat angkut untuk mengangkut hasil galian tanah yang tidak diperlukan dan membuangnya di lokasi penimbunan;
  • motor grader untuk meratakan dan merawat jalan angkut;
  • alat gilas untuk memadatkan dan mempertinggi daya dukung jalan;
Seperti halnya jalan angkut di kota, jalan angkut di tambang pun harus dilengkapi penyaliran (drainage) yang ukurannya memadai. Sistem penyaliran harus mampu menampung air hujan pada kondisi curah hujan yang tinggi dan harus mampu pula mengatasi luncuran partikelpartikel kerikil atau tanah pelapis permukaan jalan yang terseret arus air hujan menuju penyaliran.
Apabila jalan tambang melalui sungai atau parit, maka harus dibuat jembatan yang konstruksinya mengikuti persyaratan yang biasa diterapkan pada konstruksi jembatan umum di jalan kota. Parit yang dilalui jalan tambang mungkin dapat diatasi dengan pemasangan gorong-gorong (culvert), kemudian dilapisi oleh campuran tanah dan batu sampai pada ketinggian jalan yang dikehendaki.

GEOMETRI JALAN ANGKUT

Fungsi utama jalan angkut secara umum adalah untuk menunjang kelancaran operasi penambangan terutama dalam kegiatan pengangkutan. Medan berat yang mungkin terdapat disepanjang rute jalan tambang harus diatasi dengan mengubah rancangan jalan untuk meningkatkan aspek manfaat dan keselamatan kerja. Apabila perlu dibuat terowongan (tunnel) atau jembatan, maka cara pembuatan dan konstruksinya harus mengikuti aturan-aturan teknik sipil yang berlaku. Lajur jalan di dalam terowongan atau jembatan umumnya cukup satu dan alat angkut atau kendaraan yang akan melewatinya masuk secara bergantian. Pada kedua pintu terowongan ditugaskan penjaga (Satpam) yang mengatur kendaraan masuk secara bergiliran, terutama bila terowongan cukup panjang.
Geometri jalan angkut yang harus diperhatikan sama seperti jalan raya pada umumnya, yaitu:
(1) lebar jalan angkut,
(2) jari-jari tikungan dan super- elevasi,
(3) kemiringan jalan, dan
(4) cross slope.
Alat angkut atau truk-truk tambang umumnya berdimensi lebih lebar, panjang dan lebih berat dibanding kendaraan angkut yang bergerak di jalan raya. Oleh sebab itu, geometri jalan harus sesuai dengan dimensi alat angkut yang digunakan agar alat angkut tersebut dapat bergerak leluasa pada kecepatan normal dan aman.

LEBAR JALAN ANGKUT

Jalan angkut yang lebar diharapkan akan membuat lalulintas pengangkutan lancar dan aman. Namun, karena keterbatasan dan kesulitan yang muncul di lapangan, maka lebar jalan minimum harus diperhitungan dengan cermat. Perhitungan lebar jalan angkut yang lurus dan belok (tikungan) berbeda, karena pada posisi membelok kendaraan akan membutuhkan ruang gerak yang lebih lebar akibat jejak ban depan dan belakang yang ditinggalkan di atas jalan melebar. Disamping itu, perhitungan lebar jalan pun harus mempertimbangkan jumlah lajur, yaitu lajur tunggal untuk jalan satu arah atau lajur ganda untuk jalan dua arah.

Lebar jalan angkut pada jalan lurus

Lebar jalan minimum pada jalan lurus dengan lajur ganda atau lebih, menurut Aasho Manual Rural High Way Design, harus ditambah dengan setengah lebar alat angkut pada bagian tepi kiri dan kanan jalan. Dari ketentuan tersebut dapat digunakan cara sederhana untuk menentukan lebar jalan angkut minimum, yaitu menggunakan rule of thumb atau angka perkiraan, dengan pengertian bahwa lebar alat angkut sama dengan lebar lajur.

Lebar Jalan Angkut Minimum

Dari kolom perhitunga dapat ditetapkan rumus lebar jalan angkut minimum pada jalan lurus. Seandainya lebar kendaraan dan jumlah lajur yang direncanakan masing-masing adalah Wt dan n, maka lebar jalan angkut pada jalan lurus dapat dirumuskan sebagai
berikut:
L min = n.Wt + (n + 1) (½.Wt)………………………….(1)
di mana :
L min = lebar jalan angkut minimum, m
n = jumlah lajur
Wt = lebar alat angkut, m
Dengan demikian, apabila lebar truck 773D-Caterpillar antara dua kaca spion kiri-kanan 5,076 m, maka lebar jalan lurus minimum dengan lajur ganda adalah sebagai berikut:
L min = n.Wt + (n + 1) (½.Wt)
= 2 (5,076) + (3) (½ x 5,076)
= 17,77 m ˜ 18 m

Lebar Jalan Angkut Dua Lajur Pada Jalan Lurus
Lebar jalan angkut pada belokan
Lebar jalan angkut pada belokan atau tikungan selalu lebih besar daripada lebar jalan lurus. Untuk lajur ganda, maka lebar jalan minimum pada belokan didasarkan atas:
• Lebar jejak ban;
• Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang pada saat membelok;
• Jarak antar alat angkut atau kendaraan pada saat bersimpangan;
• Jarak dari kedua tepi jalan.
Dengan menggunakan ilustrasi, dapat dihitung lebar jalan minimum pada belokan, yaitu seperti terlihat di bawah ini:
di mana :
Wmin= lebar jalan angkut minimum pada belokan, m
U = lebar jejak roda (center to center tires), m
Fa = lebar juntai (overhang) depan, m
Fb = lebar juntai belakang, m
Z = lebar bagian tepi jalan, m
C = jarak antar kendaraan (total lateral clearance), m
Misalnya akan dihitung lebar jalan membelok untuk dua lajur truck 773D-Caterpillar. Lebar sebuah ban pada kondisi bermuatan dan bergerak pada jalan lurus adalah 0,70 m. Jarak antara dua pusat ban 3,30 m. Pada saat membelok meninggalkan jejak di atas jalan selebar 0,80 m untuk ban depan dan 1,65 m untuk ban belakang. Bila jarak antar truck sekitar 4,50 m, maka lebar jalan membelok adalah sebagai berikut:

JARI–JARI TIKUNGAN DAN SUPERELEVASI

Pada saat kendaraan melalui tikungan atau belokan dengan kecepatan tertentu akan menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil. Untuk mengimbangi gaya sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu kemiringan melintang ke arah titik pusat tikungan yang disebut superelevasi (e). Gaya gesek (friksi) melintang yang cukup berarti antara ban dengan permukaan jalan akan terjadi pada daerah superelevasi. Implementasi matematisnya berupa koefisien gesek melintang (f) yang merupakan per-bandingan antara besar gaya gesek melintang dengan gaya normal.

• Jari-jari tikungan
Jari-jari tikungan jalan angkut berhubungan dengan konstruksi alat angkut yang digunakan, khususnya jarak horizontal antara poros roda depan dan belakang. memperlihatkan jari-jari lingkaran yang dijalani oleh roda belakang dan roda depan berpotongan di pusat C dengan besar sudut sama dengan sudut penyimpangan roda depan. Dengan demikian jari-jari belokan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
di mana :
R = jari-jari belokan jalan angkut, m
W = jarak poros roda depan dan belakang, m
ß = sudut penyimpangan roda depan, °
Namun, rumus di atas merupakan perhitungan matematis untuk mendapatkan lengkungan
belokan jalan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor kecepatan alat angkut, gesekan roda ban
dengan permukaan jalan dan superelevasi. Apabila ketiga faktor tersebut diperhitungkan,
maka rumus jari-jari tikungan menjadi sebagai berikut:

Sudut Maksimum Penyimpangan Kendaraan
Di mana V, e, f dan D masing-masing adalah kecepatan (km/jam), super-elevasi (%), koefisien gesek melintang dan besar derajat lengkung. Agar terhindar dari kemungkinan kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu dapat dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisien gesek maksimum.
VR adalah kecepatan kendaraan rencana dan hubungannya emak dan fmak, dimana titik-titik 1, 2 dan 3 pada kurva tersebut adalah harga emak 6%, 8% dan 10%. Untuk pertimbangan perencanaan, digunakan emax = 10%. Dengan menggunakan rumus (5) dapat dihitung jari-jari tikungan minimal (Rmin) untuk variasi VR dengan konstanta emax = 10% serta harga fmax sesuai kurva 

Jari-Jari Tikungan Minimum Untuk emak = 10%

Kurva Koefisien Gesek Untuk emax 6%, 8% dan 10% (menurut AASHTO)
• Bentuk busur lengkungan pada tikungan
Badan jalan secara horizontal dapat terbagi dua bagian, yaitu: bagian yang lurus dan bagian yang melengkung. Rancangan pada kedua bagian tersebut berbeda, baik ditinjau dari konsistensi lebar jalannya maupun bentuk potongan melintangnya. Yang perlu diperhatikan dalam merancang bagian jalan yang lurus adalah harus mempunyai panjang maksimum yang dapat ditempuh dalam tempo sekitar 2,50 menit dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat kelelahan. Sedangkan pada bagian yang melengkung, biasanya digunakan dua jenis rancangan, yaitu:
(a) Tikungan berbentuk lingkaran (FC)
Tikungan berbentuk lingkaran artinya bahwa diantara bentuk badan jalan yang lurus terdapat tikungan yang lengkungannya dirancang cukup dengan sebuah jari-jari saja. Bentuk tikungan FC ini biasanya dirancang untuk tikungan yang besar, sehingga tidak terjadi perubahan panjang jari-jari (R ) sampai ke bentuk jalan yang lurus berikutnya.

Komponen-komponen Tikungan “FC”
Parameter-parameter yang ditetapkan di dalam merancang tikungan FC meliputi kecepatan (km/jam), sudut ? diukur dari Gambar(°) dan jari-jari (m). Sedangkan panjang T, E dan L (lihat Gambar 5) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

T = R tan ½ ?………………………….(8)
E = T tan ¼ ?…………………………..(9)
L = 0,01744 ? R…………………………(10)
Batasan yang dipakai di Indonesia dengan menggunakan tikungan bentuk lingkaran (FC) adalah sebagai berikut:

Batas Tikungan Bentuk “FC”

(b) Tikungan berbentuk Spiral–Lingkaran–Spiral (S-C-S)
Tikungan S-C-S dirancang apabila jari-jari lingkarannya terlalu kecil dari harga pada Tabel 3, sehingga diperlukan lengkungan peralihan. Lengkungan peralihan tersebut dinamakan “spiral” yang berfungsi sebagai penghubung antara bagian jalan yang lurus dengan bentuk lingkaran. Panjang lengkung peralihan (spiral) diperhitungkan dengan mempertimbangkan perubahan gaya sentrifugal dari nol (pada bagian lurus) sampai bentuk lingkaran yang besarnya adalah:
Harga Ls dihitung menurut rumus Modifikasi Shortt sebagai berikut:
di mana :
Ls = panjang lengkung spiral, m
VR = kecepatan rencana, km/jam
R = jari-jari lingkaran, m
C = perubahan percepatan, 0,3 – 1,0 m/det³ disarankan 0,4 m/det³
e = superelevasi, m/m
Terlihat bahwa TS-SC atau CS-ST adalah panjang lengkung spiral atau peralihan (Ls), sedangkan SC-CS adalah lengkung lingkaran dengan jari-jari Rc (Lc). Dengan demikian panjang tikungan adalah:
Ltot = 2 Ls + Lc…………………………(13)

 Komponen-komponen Tikungan “S-C-S”
Xs = absis titik SC pada garis singgung jarak dari titik TS ke SC (jarak l lurus dari garis lengkung peralihan).
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis singgung (jarak tegak l lurus ke titik
SC pada garis lengkung peralihan).
Ts = panjang garis singgung dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST.
TS = titik antara garis lurus (singgung) dan spiral.
SC = titik antara spiral dan lingkaran.
Es = jarak dari PI ke busur lingkaran.
?s = sudut lengkung spiral.
Rc = jari-jari lingkaran.
p = pergeseran garis singgung terhadap spiral.
k = absis dari p pada garis singgung spiral.
Rumus-rumus yang digunakan adalah:

• Superelevasi
Pada jalan yang membelok, badan jalan dimiringkan ke arah titik pusat belokan yang disebut superelevasi. Superelevasi berhubungan erat dengan jari-jari belokan, kecepatan kendaraan dan perubahan kecepatan (0,40 m/det³) seperti terlihat pada persamaan (12). Superelevasi
dicapai secara bertahap dari kemiringan normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian jalan yang lengkung 
Pada tikungan tipe S-C-S, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear dari bentuk normal sampai titik TS kemudian awal lengkung peralihan sepanjang Ls dan akhirnya sampai pada
superelevasi penuh sepanjang Lc. Sedangkan pada tikungan tipe FC, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear, diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 LS sampai dengan bagian lingkaran penuh 1/3 Ls. Metoda untuk mencapai superelevasi yaitu dengan membuat diagram superelevasi, baik untuk tikungan tipe FC maupun S-C-S.
Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Harga landai relatif disesuaikan dengan kecepatan rencana (VR) dan jumlah lajur yang tersedia. Persamaan (22) dipakai untuk menghitung landai relatif dan Tabel 4 merupakan hasil perhitungan landai relatif dengan variasi kecepatan.

di mana :
1/m = landai relatif, %
e = superelevasi, m/m’
e n = kemiringan melintang normal, m/m’
B = lebar lajur, m
Ls = panjang lengkung peralihan, m (gunakan rumus 12)

Landai Relatif Maksimum (untuk 2/2TB)

2.3. KEMIRINGAN JALAN ANGKUT
Kemiringan jalan berhubungan langsung dengan kemampuan alat angkut baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi tanjakan. Kemiringan jalan umumnya dinyatakan dalam persen (%). Kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik oleh alat angkut truck berkisar antara 10% – 15% atau sekitar 6° – 8,50°. Akan tetapi untuk jalan naik atau turun pada lereng bukit lebih aman bila kemiringan jalan maksimum sekitar 8% (= 4,50°). Tabel 5 memperlihatkan kemiringan atau kelandaian maksimum pada kecepatan truck yang bermuatan penuh di jalan raya mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.

Kemiringan Maksimum Vs Kecepatan (data dari Bina Marga 1)

Pada jalan mendaki juga diperlukan adanya panjang kemiringan (kelandaian) kritis, yaitu suatu jarak maksimum agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan pada jarak kritis tidak lebih dari 1 menit.

Jarak Miring Kritis (meter), data dari Bina Marga 2)

2.4. CROSS SLOPE

Cross slope adalah sudut yang dibentuk oleh dua sisi permukaan jalan terhadap bidang horizontal. Pada umumnya jalan angkut mem-punyai bentuk penampang melintang cembung (lihat Gambar 8). Dibuat demikian dengan tujuan untuk memperlancar penyaliran. Apabila turun hujan atau sebab lain, maka air yang ada pada permukaan jalan akan segera mengalir ke tepi jalan angkut, tidak berhenti dan mengumpul pada permukaan jalan. Hal ini penting karena air yang menggenang pada permukaan jalan angkut akan membahayakan kendaraan yang lewat dan mempercepat kerusakan jalan.

Angka cross slope dinyatakan dalam perbandingan jarak vertikal (b) dan horizontal (a) dengan satuan mm/m atau m/m’ (lihat rumus 22). Jalan angkut yang baik memiliki cross slope antara 1/50 sampai 1/25 atau 20 mm/m sampai 40 mm/m.

3. PERKERASAN JALAN ANGKUT

Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (sub-grade) yang berfungsi untuk menopang beban lalulintas. Jenis konstruksi perkerasan jalan pada umumnya ada tiga jenis, yaitu:
(1) perkerasan lentur (flexible pavement),
(2) perkerasan kaku (rigid pavement), dan
(3) perkerasan kombinasi lentur-kaku (composite pavement).
Perkerasan jalan angkut harus cukup kuat untuk menahan berat kendaraan dan muatan yang melaluinya, dan permukaan jalannya harus dapat menahan gesekan roda kendaraan, pengaruh air permukaan atau air limpasan (run off water) dan hujan. Bila perkerasan jalan tidak kuat menahan beban kendaraan, maka jalan tersebut akan mengalami penurunan dan pergeseran, baik pada bagian perkerasan jalan itu sendiri maupun pada tanah dasarnya (sub-grade), sehingga akan menyebabkan jalan ber-gelombang, berlubang dan bahkan bisa rusak berat. Bila perkerasan permukaan jalan (road surface) rapuh terhadap gesekan ban atau aliran air, maka akan mengalami kerusakan yang pada mulanya terjadi lubang-lubang kecil, lama kelamaan menjadi besar, dan akhirnya rusak berat.
Tujuan utama perkerasan jalan angkut adalah untuk membangun dasar jalan yang mampu menahan beban pada poros roda yang diteruskan melalui lapisan fondasi, sehingga tidak melampaui daya dukung tanah dasar (sub-grade). Dengan demikian perkerasan jalan angkut dipengaruhi oleh faktor-faktor kepadatan lalulintas, sifat fisik dan mekanik bahan (material) yang digunakan, dan daya dukung tanah dasar.

3.1. EVALUASI LAPISAN TANAH DASAR (SUB-GRADE)

Daya dukung lapisan tanah dasar merupakan bagian yang sangat penting di dalam merencanakan tebal lapisan perkerasan jalan. Oleh sebab itu evaluasi lapisan sub-grade diarahkan untuk memperoleh suatu estimasi harga atau ukuran daya dukung tanah yang caranya dapat dilakukan di lapangan atau di laboratorium mekanika tanah. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan di dalam mengestimasi ukuran kekuatan daya dukung lapisan tanah dasar antara lain:
  • kadar air,
  • kepadatan (compaction),
  • perubahan kadar air selama usia pelayanan,
  • variabilitas tanah dasar,
  • ketebalan lapisan perkerasan total yang dapat diterima oleh lapisan lunak yang ada di bawah lapisan tanah dasar.
Adapun cara pengukuran daya dukung lapisan sub-grade dapat dilakukan dengan pengujian California Bearing Ratio (CBR), Parameter Elastis dan Modulus Reaksi Tanah Dasar (k). Ketiga pengujian tersebut umumnya dilaksanakan di laboratorium mekanika tanah dengan mengikuti prodesur standardisasi yang ditetapkan oleh ASTM, AASHTO, SNI dan lain-lain.

Yang sering digunakan dalam perkerasan jalan tambang adalah pengujian CBR yang dikembangkan oleh California State High-way Department. Hasil pengujian CBR di laboratorium mekanika tanah diplot ke dalam kurva CBR. Hasil yang diharapkan dari kurva CBR adalah ketebalan lapisan-lapisan perkerasan di atas sub-grade sesuai dengan jenis-jenis tanah atau material yang digunakan untuk perkerasan jalan tersebut. Contoh penggunaan kurva CBR diberikan sebagai berikut:
Suatu konstruksi jalan tambang akan dibuat di atas lapisan sub-grade berjenis lempung-lanauan dengan plastisitas sedang (silty clay of medium plasticity) dengan harga CBR 5. Truck atau wheel loader yang melewati jalan tersebut mempunyai berat maksimum 40.000 lbs. Disekitar jalan terdapat banyak pasir yang agak bersih dengan harga CBR 15 yang dapat digunakan untuk lapisan diatasnya (sub-base). Diatas sub-base adalah lapisan permukaan (road surface) yang dilapisi krakal yang baik (good gravel) dengan harga CBR 80. Berapa tebal lapisan sub-base dan road surface agar daya dukung lapisan sub-grade stabil.
Jawaban:
Step A: Dari titik harga CBR lapisan sub-grade = 5 ditarik garis vertikal ke bawah hingga memotong kurva lengkung berat kendaraan 40.000 lbs. Dari titik perpotongan tersebut ditarik garis horizontal ke arah ordinat “ketebalan sub-base” dan diperoleh angka tebal 28 inci. Artinya, bahwa ketebalan permukaan jalan akhir paling tidak harus 28 inci di atas sub-grade.
Step B: Kemudian pasir bersih dengan CBR 15 dipotongkan dengan kurva lengkung berat kendaraan 40.000 lbs. Dari titik perpotongan tersebut ditarik garis horizontal ke arah ordinat “ketebalan sub-base” dan diperoleh angka tebal 14 inci. Artinya, bahwa ketebalan material pasir bersih harus tetap 14 inci di bawah permukaan jalan.
Step C: Perpotongan antara harga CBR krakal yang baik 80 dengan berat kendaraan 40.000 lbs menghasilkan ketebalan lapisan 6 inci dari ordinat “ketebalan sub-base”. Krakal yang merupakan material dipermukaan akhir jalan harus disebar-kan tetap 6 inci.
Dari contoh soal di atas diperoleh manfaat bahwa: (a) harga CBR sub-grade menentukan ketebalan total lapisan perkerasan, (b) jumlah lapisan perkeras-an jalan paling tidak ada dua lapis di atas sub-grade, dan (c) berat kendaraan berpengaruh terhadap penentuan ketebalan perkerasan. Tabel 6 memperlihatkan daya dukung beberapa material.

3.2. MATERIAL PERKERASAN

Material perkerasan yaitu material yang digunakan untuk melapisi permukaan sub-grade. Berdasarkan atas sifat dasarnya, material perkerasan diklasifikasikan menjadi empat kategori,
yaitu:
(1) material berbutir lepas; 
(2) material pengikat; 
(3) aspal
(4) beton semen

Daya Dukung Material

Pada jalan tambang jarang sekali digunakan material aspal atau beton semen karena pemanfaatan jalannya tidak terlalu lama atau selalu berpindah-pindah dalam tempo yang relatif singkat mengikuti area penambangan. Namun, di lokasi perkantoran, fasilitas kesehatan atau perumahan karyawan tetap digunakan material perkerasan dari aspal atau beton semen. memperlihatkan karakteristik keempat jenis material perkerasan.
• Material berbutir
Material berbutir terdiri atas kerikil dari sungai atau agregat batuan hasil mesin pemecah batu (crusher). Distribusi ukuran butir material tersebut harus mengikuti standar baku, baik ASTM, AASHTO, NAASRA atau SNI, agardapat menghasilkan kestabilan secara mekanis dan dapat dipadatkan. Dalam proses perkerasannya dapat pula ditambahkan aditif untuk menambah kestabilan tanpa menambah kekakuan.
• Material terikat
Material terikat adalah material perkerasan yang dihasilkan dengan menambahkan semen, kapur, atau zat cair lainnya dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan bahan yang terikat. Ikatan antar butir akan menghasilkan kuat tarik yang besar, sehingga diharapkan lapisan perkerasan dapat menahan beban kendaraan dengan baik dan berumur pakai lama.
• Aspal
Aspal adalah kombinasi bitumen dengan agregat yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam kondisi campuran yang masih panas, sehingga terbentuk lapisan perkerasan. Kekuatan aspal diperoleh dari gesekan antara partikel-agregat, viskositas bitumen pada saat pelaksanaan perkerasan, kohesi dalam massa bitumen, dan adhesi antara bitumen dengan agregat. Adapun kegagalan perkerasan aspal yang umum terjadi adalah akibat stabilitas yang kurang sehingga terjadi deformasi permanen, atau akibat kelelahan sehingga terjadi retakan-retakan.
• Beton semen
Beton semen adalah agregat yang dicampur dengan semen PC secara basah. Lapisan beton semen dapat digunakan sebagai lapisan fondasi bawah pada perkerasan lentur dan kaku dan sebagai lapisan fondasi atas pada perkerasan kaku.
Sebagai lapisan fondasi bawah, beton semen dapat dituangkan begitu saja di atas lapisan subgrade yang jelek (poor sub-grade) tanpa digilas., Beton semen harus memiliki kuat tekan minimum 5 MPa setelah 28 hari jika menggunakan campuran abubatu (flyash) dan jika tanpa abu batu kuat tekan minimumnya 7 MPa.
Pada perkerasan kaku memang selalu menggunakan beton semen sebagai lapisan atau landasan fondasi atas. Prinsip parameter perencanaan fondasi beton didasarkan atas kuat lentur rencana 90 hari. Setelah 90 hari diestimasi bahwa kuat lentur fondasi cukup stabil pada ketebalan perkerasan yang telah diperhitungkan.

Karekteristik dan Kategori Material Perkerasan

3.3. LAPISAN PERKERASAN JALAN

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa terdapat tiga jenis konstruksi lapisan perkerasan, yaitu lapisan perkerasan lentur, lapisan per-kerasan kaku dan lapisan perkerasan kombinasi lentur-kaku. Setiap jenis lapisan perkerasan umumnya terdiri dari 2 – 3 susunan material di atas lapisan tanah dasar (sub-grade). Lapis paling atas adalah lapis permukaan (surface course), dibawahnya adalah lapis fondasi atas (base course) dan diantara base-course dengan sub-grade adalah lapis fondasi bawah (sub-base course).
• Susunan lapisan perkerasan
Jenis-jenis susunan lapisan perkerasan yang terlah disebutkan di atas mempunyai fungsi yang berbeda-beda di dalam merespon beban yang diterimanya. Rancangan konstruksinya didasarkan atas kondisi alamiah lapisan tanah dasar, intensitas lalulintas yang akan melaluinya, faktor lingkungan dan kondisi cuaca serta air tanah. Adapun fungsi dari masingmasing lapisan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Lapis permukaan
  • Sebagai lapis perkerasan penahan beban roda yang mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan roda selama masa pelayanan
  • Lapis kedap air, sehingga air hujan yang mengalir diatasnya tidak meresap kedalamnya dan tidak pula melemahkan lapisan tersebut.
  • Sebagai lapis aus (wearing course), artinya lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan, sehingga mengakibatkan keausan ban.
  • Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung lebih jelek.
b. Lapis fondasi atas
  • Merupakan bagian perkerasan untuk menahan gaya melintang dari beban roda dan menyebarkannya ke lapisan dibawahnya.
  • Sebagai lapis peresapan untuk lapisan dibawahnya.
  • Sebagai bantalan bagi lapis permukaan.
c. Lapis fondasi bawah
  • Merupakan bagian perkerasan untuk menyebarkan beban roda kendaraan ke tanah dasar.
  • Untuk mengurangi tebal lapisan diatasnya karena material atau bahan untuk fondasi bawah umumnya lebih murah dibanding perkerasan diatasnya, sehingga dapat
  • mengefisiensikan penggunaan material.
  • Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul di fondasi.
  • Merupakan lapis pertama yang harus dikerjakan cepat agar dapat menutup lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau melemahkan daya dukung tanah dasar akibat selalu menahan roda alat berat.
  • Mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis fondasi.
• Lapisan perkerasan lentur
  • Lapisan perkerasan lentur terdiri dari 3 lapisan di atas tanah dasar, yaitu lapis fondasi bawah, lapis fondasi atas dan lapisan permukaan seperti terlihat pada Gambar 10. Dengan tiga susunan lapisan tersebut, maka jalan diharapkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
  • Bersifat elastis jika menerima beban, sehingga dapat memberi kenyaman-an bagi pengguna jalan;
  • Pada umumnya menggunakan bahan pengikat aspal;
  • Seluruh lapisan ikut menanggung beban;
  • Penyebaran tegangan diupayakan tidak merusak lapisan tanah dasar;
  • Usia maksimum yang diharapkan adalah 20 tahun;
  • Selama usia tersebut diperlukan pemeliharaan secara berkala (routine maintenance).
Untuk memperoleh kualitas jalan yang memadai agar sesuai dengan karakteristik di atas, maka jenis material dan tebal lapisan masing-masing susunan lapisan harus diperhatikan. memperlihatkan batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan dan bahan yang digunakannya.


Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan dan Bahan yang Digunakan

*) Batas 20 cm dapat diturunkan menjadi 15 cm bila fondasi bawahnya menggunakan material berbutir kasar.
• Lapisan perkerasan kaku
Lapisan perkerasan kaku maksudnya adalah lapisan permukaannya terbuat dari plat beton. Metoda perencanaan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan didasarkan pada perkiraan sebagai berikut:
  • Kekuatan lapisan tanah dasar atau harga CBR atau angka Modulus Reaksi Tanah Dasar (k);
  • Kekuatan beton yang digunakan untuk lapisan perkerasan;
  • Prediksi volume dan komposisi lalulintas selama usia rencana;
Ketebalan dan kondisi lapisan fondasi bawah (sub-base) yang diperlukan untuk menopang konstruksi, lalulintas, penurunan akibat air dan perubahan volume lapisan tanah dasar serta sarana perlengkapan daya dukung permukaan yang seragam di bawah dasar beton. Terdapat dua jenis lapisan perkerasan kaku, yaitu
(1) perkerasan beton semen dan
(2) perkerasan dengan permukaan aspal.
Perkerasan beton semen didefinisikan sebagai perkerasan yang mempunyai lapisan dasar beton dari Portland Cement (PC); sedangkan perkerasan dengan permukaan aspal adalah salah satu dari jenis komposit. 

4. ASPEK KESELAMATAN JALAN ANGKUT

Aspek-aspek teknis yang telah diuraikan sebelumnya, di samping diarahkan untuk meraih umur layanan jalan sesuai yang direncanakan, juga harus memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan dan kenyamanan pengemudi. Beberapa aspek keselamatan sepanjang jalan angkut yang akan diuraikan meliputi :
(1) jarak pandang yang aman,
(2) rambu-rambu pada jalan angkut, 
(3) lampu penerangan, dan
(4) jalur pengelak untuk menghindari kecelakaan.

4.1. JARAK PANDANG YANG AMAN

Jarak pandang yang aman (safe sight distance) diperlukan oleh pengemudi (operator) untuk melihat ke depan secara bebas pada suatu tikungan. Jika pengemudi melihat suatu penghalang yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan antisipasi untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman. Jarak pandang minimum sama dengan sama dengan jarak berhenti. Jarak pandang terdiri dari (1) Jarak Pandang Henti (Jh) dan (2) Jarak Pandang Mendahului (Jd).
Jarak Pandang Henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Ketinggian mata pengemudi berkisar antara 4,00 – 4,90 m, sedangkan tinggi penghalang yang dapat menimbulkan kecelakaan berkisar antara 0,15 – 0,20 m diukur dari permukaan jalan. Jarak Pandang Henti berkaitan erat dengan kecepatan laju kendaraan, gesekan ban dengan jalan, waktu tanggap dan gravitasi dan dapat diformulasikan sebagai berikut:


Persamaan (23) untuk jalan datar dan (24) untuk jalan dengan kemiringan tertentu,
di mana:
VR = kecepatan rencana, km/jam
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,50 detik
fp = koefisien gesek memanjang antara ban dengan perkerasan jalan, menurut AASHTO = 0,28 – 0,45; menurut Bina Marga = 0,35 – 0,55
L = kemiringan jalan, %
Tabel 8 memperlihatkan panjang Jh minimum yang dihitung berdasarkan rumus (23) dengan pembulatan-pembulatan.

Jarak Pandang Henti (Jh ) Minimum
Jarak pandang lengkung horizontal
Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan) adalah pandangan bebas pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas samping). Daerah bebas samping adalah ruang untuk menjamin kebebasan pandang di tikungan sehingga Jh terpenuhi.
Dengan demikian, daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh E meter diukur dari garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang pandangan Daerah bebas samping dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(1) Jika Jh < Lt :
(2) Jika Jh > Lt :
di mana :
R = jari-jari tikungan, m
R’ = jari-jari sumbu lajur dalam, m
Jh = jarak pandang henti, m
Lt = panjang tikungan, m

Jarak pandang lengkung vertikal
Lengkung vertikal direncanakan untuk mengubah secara bertahap perubahan daru dua macam kemiringan arah memanjang jalanpada setiap lokasi yang diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk menyediakan Jarak Pandang Henti yang cukup demi keamanan dan kenyamanan. Lengkung
vertikal terdiri dari dua jenis, yaitu (1) Lengkung Cembung dan (2) Lengkung Cekung.

a. Lengkung vertikal cembung
Sketsa lengkung vertikal cembung, diperlihatkan ketentuan tinggi untuk lengkung cembung menurut Bina Marga (1997).

Ketentuan Tinggi Untuk Jarak Pandang
Dapat ditentukan panjang lengkung parabola pada lengkung vertikal cembung sebagai berikut:
(1) Jika Jh < L :
(2) Jika Jh > L :
di mana :
L = panjang lengkung parabola, m
A = perbedaan kemiringan dua titik pengamatan, m
Jh = jarak pandang henti, m

b. Lengkung vertikal cekung
Tidak ada dasar yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lengkung cekung vertikal ( L ), akan tetapi ada empat kriteria sebagai pertimbangan yang dapat digunakan, yaitu:
  • Jarak sinar lampu besar kendaraN
  • Kenyamanan pengemudi
  • Ketentuan drainase
  • Penampilan secara umum

4.2. RAMBU-RAMBU PADA JALAN

Untuk lebih menjamin menjamin keamanan sehubungan dengan di-operasikannya suatu jalan angkut, maka perlu kiranya dipasang rambu-rambu sepanjang jalan angkut tersebut terutama pada tempat-tempat yang berbahaya. Rambu-rambu dipasang untuk keselamatan:
  • Pengemudi dan kendaraan itu sendiri;
  • Binatang yang ada di sekitar jalan angkut;
  • Masyarakat setempat yang biasa menggunakan jalan tambang;
  • Kendaraan lain yang mungkin lewat pada jalan tersebut;
  • Tanda adanya perempatan, pertigaan, persilangan dengan jalan umum, misalnya rel keret api, dsb.

4.2.1. LAMPU PENERANGAN JALAN

Lampu penerangan perlu dipasang apabila jalan angkut akan digunakan pada malam hari. Pemasangan bisa dilakukan berdasarkan jarak maupun tingkat bahayanya. Lampu-lampu tersebut dipasang antara lain pada:
  • Tikungan (belokan),
  • Perempatan atau pertigaan jalan,
  • Jembatan,
  • Tanjakan maupun turunan yang cukup tajam.

4.2.2. JALUR PENGELAK UNTUK MENGHINDARI KECELAKAAN

Untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi karena kendaraan slip, rem blong atau sebab lain, maka pada jalur angkut perlu dibuat jalur pengelak (runaway precaution). Ditinjau dari daerah datar sepanjang jalur memanjang yang tersedia, terdapat dua cara membuat jalur pengelak. Untuk daerah yang sempit, misalnya jalan dibuat antara tebing dan jurang, maka dibuat lajur khusus untuk mengelakkan kendaraan seperti terlihat pada Gambar 19. Sedangkan Gambar 20 adalah bentuk jalur pengelak untuk daerah yang luas.

5. PENUTUP

Ketentuan-ketentuan yang sudah dipaparkan pada bab-bab terdahulu merupakan bahan pertimbangan didalam merancang jalan tambang. Ada kemungkinan pada pelaksanaan pembuatan jalan tambang harus dirancang suatu perhitungan di luar ketentuan tersebut. Misalnya dalam menentukan jari-jari tikungan minimum, di mana lebar truck tambang bisa mencapai 2 – 3 kali lipat lebar truck tronton sementara kecepatan rata-ratanya hanya berkisar 30 km/jam, maka kemungkinan terjadi penyimpangan dari yang telah ditentukan oleh Bina Marga.
Artinya adalah perhitungan rancangan jalan tambang menjadi lebih sederhana, yaitu mengutamakan jari-jari tikungan yang lebar dan aman untuk dua lajur tanpa harus mempertimbangkan secara serius kecepatan trucknya. Berbeda dengan rancangan jalan angkut yang menghubungkan daerah di luar konsesi tambang atau jalan yang dilalui oleh kendaraan umum menuju lokasi penambangan. Untuk kondisi tersebut perhitungan yang telah diuraikan sebelumnya patut dilaksanakan.
Dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya dalam merancang jalan angkut tambang ekuivalen dengan jalan umum dari Bina Marga. Pengalaman menunjukkan bahwa penyimpangan di dalam merancang jalan di lokasi tambang umumnya terpaksa harus dilakukan karena:
  • jalan tambang yang sering berpindah;
  • dimensi alat angkut tambang besar, penetrasi terhadap badan jalan tinggi, sementara kecepatan rendah;
  • areal panambangan atau pit terbatas, sementara lalulintas alat angkut padat;
  • jalan tambang hanya dipadatkan oleh buldozer dengan perkerasan seadanya dan tanpa lapisan permukaan permanen, sehingga perawatan menjadi sangat intensif;
  • akibat jalan yang selalu berubah, maka drainase jalan dibuat seperlunya.
Walaupun demikian, perhitungan untuk merancang jalan tambang tetap memperhatikan aspek keselamatan kerja pengangkutan, yaitu dengan memasang rambu-rambu dan jalur pengelak. Rambu-rambu lalulintas di jalan umum sebagian dapat diterapkan di sepanjang jalan tambang, namun ada pula rambu-rambu yang bersifat khas lokasi tambang, misalnya “Dahulukan Alat-alat Berat”, “Keep Right (Jalan disebelah kanan)”, “Gunakan Retarder”, atau rambu lain yang disesuaikan dengan situasi tambang setempat.