Breaking News

Thursday 19 March 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA (BAB I S/D BAB IV)


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a.    Bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
b.    Bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
c.    Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;
d.    Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang       Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  

UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.



BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.         Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
2.         Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
3.         Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
4.         Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
5.         Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
6.         Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.
7.         Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
8.         IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
9.         IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
10.      Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
11.      Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
12.      IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
13.      Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
14.      Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
15.      Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
16.      Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang.
17.      Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
18.      Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
19.      Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.
20.      Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
21.      Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
22.      Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
23.      Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
24.      Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan.
25.      Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
26.      Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
27.      Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
28.      Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.
29.      Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
30.      Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
31.      Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP.
32.      Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
33.      Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.
34.      Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan.
35.      Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.
36.      Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37.      Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
38.      Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:
a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pasal 3
Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:

a.         Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b.         Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c.         Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d.         Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e.         Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
f.          Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

BAB III
PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 4
(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Pasal 5
(1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.
(2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor.
(3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi.
(4) Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB IV
KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Pasal 6
(1) Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. penetapan kebijakan nasional;
b. pembuatan peraturan perundang-undangan;
c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;
d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
e. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;
j. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
k. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara;
n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
o. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;
p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN;
q. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional;
r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang;
s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;
t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan
u. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 7
(1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
d. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
e. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;
f. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;
g. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;
i. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
j. pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya;
k. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota;
l. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;
m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
n. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8
(1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;
e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;
f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;
g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;
j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;
k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

0 komentar:

Post a Comment