UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 4 TAHUN 2009
TENTANG
PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
Bahwa
mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu
pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara
nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
b.
Bahwa
kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai
peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
c.
Bahwa
dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat
mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan,
berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan
nasional secara berkelanjutan;
d.
Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
Mengingat:
Pasal
5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Pertambangan
adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
2.
Mineral
adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk
batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
3.
Batubara
adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan.
4.
Pertambangan
Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di
luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
5.
Pertambangan
Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi,
termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
6.
Usaha
Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara
yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta pascatambang.
7.
Izin
Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan.
8.
IUP
Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
9.
IUP
Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan
IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
10.
Izin
Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas
wilayah dan investasi terbatas.
11.
Izin
Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan
khusus.
12.
IUPK
Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha
pertambangan khusus.
13.
Operasi
Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK
Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin
usaha pertambangan khusus.
14.
Umum
adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional
dan indikasi adanya mineralisasi.
15.
Eksplorasi
adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara
terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan
sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan
sosial dan lingkungan hidup.
16.
Studi
Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis
dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan
serta perencanaan pascatambang.
17.
Operasi
Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta
sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
18.
Konstruksi
adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh
fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
19.
Penambangan
adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau
batubara dan mineral ikutannya.
20.
Pengolahan
dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu
mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral
ikutan.
21.
Pengangkutan
adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara
dari daerah tambang dan atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat
penyerahan.
22.
Penjualan
adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral
atau batubara.
23.
Badan
Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang
didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
24.
Jasa
Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha
pertambangan.
25.
Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
26.
Reklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk
menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar
dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
27.
Kegiatan
pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana,
sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha
pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut
kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
28.
Pemberdayaan
Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara
individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.
29.
Wilayah
Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi
mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
30.
Wilayah
Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang
telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
31.
Wilayah
Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang
diberikan kepada pemegang IUP.
32.
Wilayah
Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat
dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
33.
Wilayah
Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang
dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.
34.
Wilayah
Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN
yang dapat diusahakan.
35.
Wilayah
Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK,
adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.
36.
Pemerintah
Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37.
Pemerintah
daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
38.
Menteri
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan
mineral dan batubara.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pertambangan mineral dan/atau
batubara dikelola berasaskan:
a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pasal
3
Dalam rangka mendukung pembangunan
nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah:
a.
Menjamin
efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara
berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b.
Menjamin
manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup;
c.
Menjamin
tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber
energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d.
Mendukung
dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat
nasional, regional, dan internasional;
e.
Meningkatkan
pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan
kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
f.
Menjamin
kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara.
BAB III
PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 4
PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 4
(1) Mineral dan batubara sebagai
sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai
oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
(2) Penguasaan mineral dan batubara
oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah.
Pasal
5
(1) Untuk kepentingan nasional,
Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara
untuk kepentingan dalam negeri.
(2) Kepentingan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor.
(3) Dalam melaksanakan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi.
(4) Pemerintah daerah wajib mematuhi
ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB IV
KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 6
KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 6
(1) Kewenangan Pemerintah dalam
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. penetapan kebijakan nasional;
b. pembuatan peraturan perundang-undangan;
c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;
d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
b. pembuatan peraturan perundang-undangan;
c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;
d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
e. penetapan WP yang dilakukan
setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f. pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada
pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas)
mil dari garis pantai;
g. pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi
penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih
dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
h. pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi
produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
i. pemberian IUPK Eksplorasi dan
IUPK Operasi Produksi;
j. pengevaluasian IUP Operasi
Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan
kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
k. penetapan kebijakan produksi,
pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
m. perumusan dan penetapan
penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan
batubara;
n. pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan
oleh pemerintah daerah;
o. pembinaan dan pengawasan
penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;
p. penginventarisasian,
penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN;
q. pengelolaan informasi geologi,
informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi
pertambangan pada tingkat nasional;
r. pembinaan dan pengawasan terhadap
reklamasi lahan pascatambang;
s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;
t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan
s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;
t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan
u. peningkatan kemampuan aparatur
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Kewenangan pemerintah provinsi
dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
a. pembuatan peraturan
perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas
wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12
(dua belas) mil;
c. pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi
produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau
wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
d. pemberian IUP, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang
berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4
(empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
e. penginventarisasian, penyelidikan
dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi
mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;
f. pengelolaan informasi geologi,
informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi
pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;
g. penyusunan neraca sumber daya
mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;
h. pengembangan dan peningkatan
nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;
i. pengembangan dan peningkatan
peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan;
j. pengoordinasian perizinan dan
pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan
kewenangannya;
k. penyampaian informasi hasil
inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada
Menteri dan bupati/walikota;
l. penyampaian informasi hasil
produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan
bupati/walikota;
m. pembinaan dan pengawasan terhadap
reklamasi lahan pascatambang; dan
n. peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan pemerintah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
(1) Kewenangan pemerintah
kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara
lain, adalah:
a. pembuatan peraturan
perundang-undangan daerah;
b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan,
penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi
produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah
laut sampai dengan 4 (empat) mil;
d. penginventarisasian, penyelidikan
dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi
mineral dan batubara;
e. pengelolaan informasi geologi,
informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada
wilayah kabupaten/kota;
f. penyusunan neraca sumber daya
mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;
g. pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan;
h. pengembangan dan peningkatan
nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
i. penyampaian informasi hasil
inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan
eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;
j. penyampaian informasi hasil
produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;
k. pembinaan dan pengawasan terhadap
reklamasi lahan pascatambang; dan
l. peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
(2) Kewenangan pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
0 komentar:
Post a Comment