BAB XIV
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 113
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 113
(1) Penghentian sementara kegiatan
usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila
terjadi:
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi sehingga
menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan;
c. apabila kondisi daya dukung
lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi
produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.
(2) Penghentian sementara kegiatan
usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa
berlaku IUP atau IUPK.
(3) Permohonan penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Penghentian sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur
tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan
tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permohonan tersebut.
Pasal
114
(1) Jangka waktu penghentian
sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun.
(2) Apabila dalam kurun waktu
sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IUPK sudah
siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mencabut keputusan penghentian
sementara setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal
115
(1) Apabila penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap
Pemerintah dan pemerintah daerah tidak berlaku.
(2) Apabila penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi kegiatan
usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b,
kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap
berlaku.
(3) Apabila penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan
wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c, kewajiban
pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku.
Pasal
116
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal 115 diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XV
BERAKHIRNYA Izin USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 117
BERAKHIRNYA Izin USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 117
IUP dan IUPK berakhir karena:
a. dikembalikan;
b. dicabut; atau
c. habis masa berlakunya.
a. dikembalikan;
b. dicabut; atau
c. habis masa berlakunya.
Pasal
118
(1) Pemegang IUP atau IUPK dapat
menyerahkan kembali IUP atau IUPK-nya dengan pernyataan tertulis kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan
disertai dengan alasan yang jelas.
(2) Pengembalian IUP atau IUPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan setelah
memenuhi kewajibannya.
Pasal
119
IUP atau IUPK dapat dicabut oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak
memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan
perundang-undangan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan
pailit.
Pasal
120
Dalam hal jangka waktu yang
ditentukan dalam IUP dan IUPK telah habis dan tidak diajukan permohonan
peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi
tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut berakhir.
Pasal
121
(1) Pemegang IUP atau IUPK yang
IUP-nya atau IUPK-nya berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajib memenuhi dan menyelesaikan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewajiban pemegang IUP atau IUPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat
persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal
122
(1) IUP atau IUPK yang telah
dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 121 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) WIUP atau WIUPK yang IUP-nya
atau IUPK-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada
badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
123
Apabila IUP atau IUPK berakhir,
pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil
eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
BAB XVI
Usaha Jasa Pertambangan
Pasal 124
Usaha Jasa Pertambangan
Pasal 124
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib
menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.
(2) Dalam hal tidak terdapat
perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP
atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan
hukum Indonesia.
(3) Jenis usaha jasa pertambangan
meliputi:
a. konsultasi, perencanaan,
pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang:
1) penyelidikan umum;
2) eksplorasi;
3) studi kelayakan;
4) konstruksi pertambangan;
5) pengangkutan;
6) lingkungan pertambangan;
7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau
8) keselamatan dan kesehatan kerja.
2) eksplorasi;
3) studi kelayakan;
4) konstruksi pertambangan;
5) pengangkutan;
6) lingkungan pertambangan;
7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau
8) keselamatan dan kesehatan kerja.
b. konsultasi, perencanaan, dan
pengujian peralatan di bidang:
1) penambangan; atau
2) pengolahan dan pemurnian.
2) pengolahan dan pemurnian.
Pasal
125
(1) Dalam hal pemegang IUP atau IUPK
menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap
dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK.
(2) Pelaksana usaha jasa
pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai
dengan klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pelaku usaha jasa pertambangan
wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal.
Pasal
126
(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang
melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa
pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan
izin Menteri.
(2) Pemberian izin Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:
a. tidak terdapat perusahaan jasa
pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau
b. tidak ada perusahaan jasa
pertambangan yang berminat/mampu.
Pasal
127
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124,
Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.
BAB XVII
PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
Pasal 128
PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
Pasal 128
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib
membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.
(2) Pendapatan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara
bukan pajak.
(3) Penerimaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. pajak-pajak yang menjadi
kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan; dan
b. bea masuk dan cukai.
(4) Penerimaan negara bukan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. iuran tetap;
b. iuran eksplorasi;
c. iuran produksi; dan
d. kompensasi data informasi.
b. iuran eksplorasi;
c. iuran produksi; dan
d. kompensasi data informasi.
(5) Pendapatan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah; dan
b. retribusi daerah; dan
c. pendapatan lain yang sah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
129
(1) Pemegang IUPK Operasi Produksi
untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat
persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari
keuntungan bersih sejak berproduksi.
(2) Bagian pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. pemerintah provinsi mendapat
bagian sebesar 1% (satu persen);
b. pemerintah kabupaten/kota
penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan
c. pemerintah kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
Pasal
130
(1) Pemegang IUP atau IUPK tidak
dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c
dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat
(5) atas tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.
(2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai
iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c atas
pemanfaatan tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.
Pasal
131
Besarnya pajak dan penerimaan negara
bukan pajak yang dipungut dari pemegang IUP, IPR, atau IUPK ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
132
(1) Besaran tarif iuran produksi
ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas
tambang.
(2) Besaran tarif iuran produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
133
(1) Penerimaan negara bukan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan
daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penerimaan negara bukan pajak
yang merupakan bagian daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga)
bulan setelah disetor ke kas negara.
BAB XVIII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 134
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 134
(1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK
tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(2) Kegiatan
usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Kegiatan
usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan
setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal
135
Pemegang IUP
Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah
mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
Pasal
136
(1) Pemegang
IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan
hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.
Pasal
137
Pemegang IUP
atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 136 yang telah
melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
138
Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan
merupakan pemilikan hak atas tanah.
BAB XIX
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 139
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 139
(1) Menteri
melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pemberian pedoman dan standar
pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
c. pendidikan dan pelatihan; dan
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
c. pendidikan dan pelatihan; dan
d. perencanaan, penelitian,
pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha
pertambangan di bidang mineral dan batubara.
(3) Menteri
dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
(4) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan
pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh
pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal
140
(1) Menteri
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Menteri
dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
(3) Menteri, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR,
atau IUPK.
Pasal
141
(1) Pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, antara lain, berupa:
a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa,
teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis
pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang
kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum;
n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf l
dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal pemerintah daerah
provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota belum mempunyai inspektur
tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk
melaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal
142
(1) Gubernur dan bupati/walikota
wajib melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing
sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri.
(2) Pemerintah dapat memberi teguran
kepada pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pasal
143
(1) Bupati/walikota melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan rakyat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah
kabupaten/kota.
Pasal
144
Ketentuan lebih lanjut mengenai
standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142 dan Pasal 143 diatur dengan
peraturan pemerintah.
Bagian
Kedua
Perlindungan Masyarakat
Pasal 145
Perlindungan Masyarakat
Pasal 145
(1) Masyarakat yang terkena dampak
negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:
a. memperoleh ganti rugi yang layak
akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. mengajukan gugatan kepada
pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi
ketentuan.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
0 komentar:
Post a Comment