BAB XX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Bagian Kesatu
Penelitian dan Pengembangan
Pasal 146
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Bagian Kesatu
Penelitian dan Pengembangan
Pasal 146
Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian
dan pengembangan mineral dan batubara.
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 147
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 147
Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan batubara.
Pasal
148
Penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan
masyarakat.
BAB XXI
PENYIDIKAN
Pasal 149
PENYIDIKAN
Pasal 149
(1) Selain penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan
usaha pertambangan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap
orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha
pertambangan;
c. memanggil dan/atau mendatangkan
secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka
dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan;
d. menggeledah tempat dan/atau
sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha
pertambangan;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan
prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan
yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan/atau menyita alat
kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana
sebagai alat bukti;
g. mendatangkan dan/atau meminta
bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau
h. menghentikan penyidikan perkara
tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.
Pasal
150
(1) Penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana dalam
kegiatan usaha pertambangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan
menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal
tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.
(4) Pelaksanaan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XXII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 151
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 151
(1) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi
administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41,
Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6),
Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 Pasal 98,
Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat
(4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112
ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126
ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2).
(2) Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian
atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau
c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal
152
Dalam hal pemerintah daerah tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi
yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
j, Menteri dapat menghentikan sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
153
Dalam hal pemerintah daerah
berkeberatan terhadap penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR
oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152, pemerintah daerah dapat
mengajukan keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
154
Setiap sengketa yang muncul dalam
pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase
dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
155
Segala akibat hukum yang timbul
karena penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP, IPR atau IUPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b dan huruf c diselesaikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
156
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan
Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal
157
Pemerintah daerah yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi
administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan usaha
pertambangan mineral dan batubara.
BAB XXIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 158
KETENTUAN PIDANA
Pasal 158
Setiap orang yang melakukan usaha
penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal
40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal
159
Pemegang IUP, IPR atau IUPK yang
dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat
(1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau
Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal
160
(1) Setiap orang yang melakukan
eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mempunyai IUP
Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal
161
Setiap orang atau pemegang IUP
Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan
batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat
(1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat
(3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal
162
Setiap orang yang merintangi atau
mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
163
(1) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah
1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal
164
Selain ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161 dan Pasal 162 kepada
pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
Pasal
165
Setiap orang yang mengeluarkan IUP,
IPR atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan
kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
BAB XXIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 166
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 166
Setiap masalah yang timbul terhadap
pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang berkaitan dengan dampak lingkungan
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
167
WP dikelola oleh Menteri dalam suatu
sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan
penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP,
WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK.
Pasal
168
Untuk meningkatkan investasi di
bidang pertambangan, Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali
ditentukan lain dalam IUP atau IUPK.
BAB XXV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 169
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 169
Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya
Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya
kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam
pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara
sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan
negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan
negara.
Pasal
170
Pemegang kontrak karya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal
171
(1) Pemegang kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah
kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian
untuk mendapatkan persetujuan pemerintah.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah
diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
Pasal
172
Permohonan kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada
Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-Undang ini dan sudah
mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan
tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang
berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XXVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 173
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 173
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
(2) Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
174
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang
ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal
175
Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
pada tanggal 12 Januari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
pada tanggal 12 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
0 komentar:
Post a Comment